REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemberlakukan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) secara mandatory atau wajib untuk semua produk berbahan kayu dinilai melapangkan akses ekspor produk furnitur Indonesia, terutama Eropa.
Pemberlakuan SVLK itu selanjutnya menghilangkan kewajiban uji tuntas (due diligence) yang menjadi beban biaya bagi eksportir yang selama ini dialami dalam produk olahan kayu Indonesia yang diekspor ke Uni Eropa. Apalagi, industri furnitur kayu sebagian besar merupakan industri kecil menengah.
Menteri Perindustrian, Saleh Husin, mengatakan hal itu pada konferensi pers bersama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya; Menteri Perdagangan, Thomas Lembong; dan Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi tentang "SVLK Mengantar Indonesia Capai FLEGT License Pertama di Dunia" di Kementerian LHK, Jakarta, Kamis (12/5).
FLEGT sendiri merupakan Forest Law Enforcement Governance and Trade atau Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Bidang Kehutanan. Negosiasi Indonesia dan Uni Eropa dalam rangka FLEGT Voluntary Partnership Agreement dinakhodai oleh Kementerian Luar Negeri dan melibatkan para pemangku kepentingan baik dari unsur pemerintahan seperti kementerian, unsur industri dan masyarakat.
"Berlakunya SVLK secara mandatory untuk seluruh produk berbahan kayu diharapkan berdampak positif terhadap industri hilir pengolahan kayu, terutama furnitur kayu, karena meningkatnya tingkat kepercayaan buyer internasional, terutama dari Uni Eropa, bahwa produk olahan kayu Indonesia dijamin legalitasnya," kata Menperin.
Kepercayaan juga terkait bahwa bahan baku kayu bersumber dari hutan lestari atau Sustainable Forest Management (SFM) yang nantinya meningkatkan daya saing produk furnitur kayu Indonesia dan membuka peluang pasar yang lebih besar.
Beleid pemberlakuan SVLK secara mandatory itu tertuang pada Peraturan Menteri Perdagangan No.25 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan No.89/M-DAG/PER/10/2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan.
Ketentuan ini memuat perubahan prinsip dari peraturan sebelumnya, dimana penerapan SVLK berlaku secara mandatory untuk semua produk berbahan baku kayu. Sebelumnya, penerapan SVLK voluntary untuk 15 HS, termasuk furnitur kayu.
SVLK juga menjadi upaya perbaikan tata kelola kehutanan yang perlu didukung oleh para pihak terkait. "Diharapkan tidak menjadi beban bagi pelaku usaha namun justru dapat menjadi investasi perbaikan manajemen industri pengolahan kayu," katanya.
Produk industri kehutanan merupakan salah satu produk ekspor nasional yang memberikan kontribusi dengan tren yang terus meningkat selama 5 tahun terakhir sebesar 2 persen. Nilai ekspor produk industri kehutanan tercatat USD 10,6 miliar pada 2015 atau 8 persen dari total ekspor non migas Indonesia.