REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah telah menyiapkan instrumen khusus untuk menampung dana repatriasi dari skema pengampunan pajak atau tax amnesty. Instrumen ini nantinya bakal menggunakan surat berharga negara (SBN).
Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro mengatakan, instrumen SBN akan akan menjadi seri khusus berjangka waktu panjang untuk menampung aset repatriasi hingga Rp 100 triliun.
"Sementara ini, Rp 100 triliun yang melalui SBN," ujar Bambang usai menghadiri 13th Annual Asia-Pacific Tax Forum: International Conference on Tax, Investment, and Business di Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (23/5).
Bambang menjelaskan, saat ini pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih memfinalisasi sejumlah instrumen yang nantinya akan dipakai untuk dana repatriasi yang didapat dari skema tax amnesty. Sebab dana repatriasi nantinya tak hanya akan didorong untuk masuk ke SBN. Berbagai instrumen keuangan untuk menyerap dana ini juga telah disiapkan.
"Perbankan itu jadi pintu masuknya (dana repatriasi), nanti perbankan bisa mengembangkan dana ini untuk masuk ke saham, SBN, atau instrumen lain," kata Bambang.
Menurut Bambang, berdasarkan data internal pemerintah, terdapat 214.488 perusahaan cangkang (special purpose vehicle) serta 6.519 rekening yang dimiliki WNI yang belum mencatatkan asetnya dengan nilai nominal lebih dari Rp 11.450 triliun selama periode 1995-2015. Angka ini dengan asumsi nilai tukar rupiah Rp 13.300 per dolar AS. Angka ini diprediksi akan meningkat, meskipun Kementerian Keuangan belum mempunyai data rekening terakhir.
Dari jumlah tersebut, pemerintah menargetkan penerimaan pajak hingga Rp 160 triliun dari kebijakan tax amnesty. Jumlah ini dengan asumsi tarif tebusan rata-rata empat persen dikali Rp 3.500-4.000 triliun hasil deklarasi aset yang ada di luar negeri. "Selain itu masih ada potensi sekitar Rp 20 triliun dari porsi repatriasi modal dengan tarif dua persen dikali Rp 1.000 triliun," ungkap Bambang.
Baca juga: Pendapatan dari Tax Amnesty untuk APBN Rp 165 Triliun