REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan Kejaksaan RI memiliki utang pengganti penerimaan negara bukan pajak (PNBP) kepada negara sebesar Rp 1,82 triliun. Menanggapi itu, Kejaksaan mengklaim tunggakkan tersebut lebih banyak berasal dari kasus-kasus korupsi.
"Saya ingin sampaikan di sini bahwa uang pengganti itu berasal paling besar terutama dari kasus-kasus korupsi," ujar Jaksa Agung HM Prasetyo di Kejaksaan Agung RI, Jakarta Selatan, Kamis (2/6).
Prasetyo mengatakan, uang tunggakan itu harus dilihat dari segala aspek. Ada kesulitan-kesulitan yang menurut dia perlu dilihat juga dari berbagai sisi, misalnya dari sisi regulasi.
Menurut dia, Undang-undang (UU) korupsi pernah mengalami pembaruan atau penggantian. Awalnya, UU No. 3 Tahun 1971, kemudian UU No. 31 Tahun 1999 dan saat ini telah diperbaharui lagi dengan UU No. 20 Tahun 2001.
Pada UU No. 3 tahun 1971 tidak diatur secara jelas tentang bagaimana apabila terpidana tidak memenuhi kewajibannya membayar uang pengganti. Sehingga saat mereka saat ini mangkir atau tidak membayar, tugas kejaksaan melakukan gugatan perdata.
"Itulah yang kemudian menjadi penyebab kenapa ada uang pengganti yang belum sempat kami tagih sebagai piutang negara. Jadi jangan semata-mata disalahkan pada Kejaksaan tapi ada kendalam regulasi yang tentunya siapapun, BPK pun akan sulit mengatasi hal ini kalau dia harus melaksanakan tugas sebagai eksekutor seperti jaksa," paparnya.
BPK menyambangi DPR RI pada Kamis (2/6), siang. BKP melaporkan penemuan piutang PNBP sebesar Rp 1,82 triliun pada Kejaksaan RI tidak didukung dokumen sumber yang memadai karena hilangnya 51 berkas putusan piutang uang pengganti tindak pidana korupsi.
Temuan berkas yang hilang sebanyak 51 tersebut terdiri dari 25 perkara kasus pidana dan 26 perkara kasus perdata. Dengan rincian Seksi Pidana Khusus sebanyak 25 perkara senilai Rp 12,60 miliar dan Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara sebanyak 26 perkara senilai Rp 1,81 triliun rupiah.