REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan hukuman kebiri merupakan hukuman badan ala jahiliyah yang bertentangan dengan hak asasi manusia karena kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia.
"Karena itu, saya mendukung penolakan IDI atas hukuman kebiri, bukan hanya untuk pelaku anak di bawah umur tetapi juga untuk semua pelaku," kata Hendardi melalui pesan singkat di Jakarta, Senin (13/6).
Hendardi menilai hukuman kebiri akan menabrak instrumen hukum internasional, konstitusi dan undang-undang seperti Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan.
Menurut Hendardi, penolakan IDI terhadap hukuman kebiri didasarkan atas kemanusiaan dan sejalan dengan penolakan segala jenis hukuman badan yang tidak manusiawi yang juga ditentang oleh hukum hak asasi manusia.
"Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak akan menjadi persoalan serius Presiden Joko Widodo di forum internasional," tuturnya.
Hendardi mengatakan seharusnya Presiden lebih memprioritasan pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dibandingkan mendengarkan masukan kelompok-kelompok yang gemar melakukan kampanye anti-HAM.
"Sebaiknya DPR menghentikan pembahasan Perppu tersebut," ujarnya.
Sebelumnya, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak menjadi pelaksana hukuman kebiri yang akan menjadi hukuman tambahan bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak karena bertentangan dengan Sumpah Dokter dan Kode Etik Kedokteran Indonesia.
"Kami tidak menentang Perppu mengenai tambahan hukuman kebiri. Namun, eksekusi penyuntikan janganlah seorang dokter," kata Ketua Umum IDI Ilham Oetama Marsis.