REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PHMI), Fadli Nasution, menilai keberadaan pasal 11 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menimbulkan peluang polemik saat pencalonan Kapolri. Ia menyarankan adanya revisi terkait pasal tersebut.
"Pasal 11 ayat 5 menyatakan dalam keadaan mendesak Presiden bisa memberhentikan sementara Kapolri dan mengangkat Pelaksana Tugas Harian Kapolri yang selanjutnya meminta persetujuan DPR. UU tidak mensyaratkan Presiden untuk menjelaskan alasannya saat pemilihan Kapolri," ungkap Fadli saat diskusi bertajuk 'Kapolri Pilihan Jokowi' di Jakarta, Jumat (17/6).
Karena itulah, lanjut dia, posisi Kapolri berpotensi menjadi jabatan yang bersifat politis. Sebab, berbagai pihak, termasuk DPR dan publik, membicarakan hal tersebut.
Menurut Fadli, idealnya, Presiden yang memiliki wewenang untuk mencalonkan nama Kapolri menjelaskan latar belakang pilihannya. Dalam konteks pencalonan Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi Tito Karnavian, Presiden Joko Widodo mestinya memberikan alasan dan pertimbangan yang jelas.
"Saran saya, ada revisi pada UU Polri sehingga tidak perlu ada lagi persetujuan DPR, supaya tidak memicu polemik. Persetujuan semacam ini pun berpeluang tarik-menarik kepentingan antara eksekutif dengan legislatif," tutur Fadli.
Dia menyarankan, Kapolri dipilih langsung dan dilantik bersama dengan kabinet di awal masa jabatan Presiden. Pemilihan Kapolri, kata dia, seluruhnya nenjadi hak istimewa Presiden.
Fadli menambahkan, meski dipilih langsung, masa jabatan Kapolri tidak boleh melebihi usianya. Kapolri juga dapat diberhentikan kapan pun seperti halnya jabatan menteri.
Pencalonan Tito Karnavian sebagai Kapolri mengemuka setelah Ketua DPR RI Ade Komarudin, mengungkaxpkan permintaan Presiden Joko Widodo, Selasa (15/6) lalu. Dalam surat kepada DPR, Presiden mengajukan Tito sebagai calon tunggal Kapolri.