REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembina Mualaf Ustaz Agustinus Kainama mengatakan, Halal Bihalal Paguyuban Mualaf di Masjid Sunda Kelapa dilakukan sebagai wahana mualaf untuk bisa berkeluh kesah dan mendapat dukungan dari sesama mualaf maupun pembina Islam, para ustaz, ustazah, maupun guru.
"Para mualaf ini banyak yang mendapat tekanan fisik dan mental dari keluarganya setelah masuk Islam. Mereka banyak yang dibuang oleh keluarganya setelah masuk Islam sehingga mualaf itu hidupnya berat, makanya mereka sangat membutuhkan bantuan dan perhatian sesama mualaf maupun Muslim," katanya dalam acara Halal Bihalal Paguyuban Mualaf di Masjid Sunda Kelapa, Ahad, (17/7).
Mualaf selain mendapatkan tekanan fisik, mental, dicabut juga kemampuan keuangannya. Bahkan ada juga yang mendapat kekerasan fisik karena keluarganya tak terima ia masuk Islam.
"Cobaan mualaf itu banyak dan begitu beratnya. Bahkan ada mualaf yang dulu tak pernah punya kasus hukum, namun begitu jadi mualaf langsung mendapat fitnah dan kena kasus hukum makanya mereka membutuhkan saudara sesama Muslim untuk saling menguatkan," kata Kainama.
Namun perlu diingat bahwa para sahabat Rasul itu mualaf semua. Mereka bisa berjuang teguh dalam Islam.
"Kegiatan paguyuban mualaf untuk menguatkan dan menolong sesama Muslim diperlukan supaya saudara kita yang mualaf tidak kembali ke agama lamanya. Sebab cobaan yang paling berat itu dibuang dari keluarga, jangan sampai syahadatnya jadi sia-sia karena tak kuat menghadapi cobaan," terangnya.
Makanya, acara Halal Bihalal Paguyuban Mualaf dijadikan titik untuk lebih menguatkan tali silaturahim antar mualaf di seluruh Indonesia. "Supaya mereka merasa kuat dan yakin bahwa mereka tak sendirian," kata dia.
Ia menambahkan, tahun 2015 terdapat 500 orang mualaf. Sedangkan tahun 2016 hingga Juli sudah sekitar 370 orang jadi mualaf. Rata-rata setiap hari ada 2-3 orang menjadi mualaf.
Di tempat yang sama, seorang mualaf Anggi Putri mengatakan, ia menjadi mualaf karena sering ikut acara-acara yang berbau Islam. "Dulu waktu sekolah saya pernah ikut Malam Ibadah isinya baca Alquran dan dilakukan di masjid," kata dia.
Kemudian, saat sekolah dia juga sering jadi panitia puasa. Kemudian di kelas sering ada pelajaran agama Islam, walau saat itu ia memeluk Protestan dan boleh tak ikut pelajaran agama Islam, dia memutuskan tetap belajar di kelas.
"Saya dengarkan saja guru agama Islam saya menerangan soal Islam. Masa lalu saya sekolah di sekolah negeri yang mayoritas Islam rupanya memberikan pengaruh pada saya saat dewasa untuk tergerak masuk Islam," ujar Anggi.