REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf berharap dalam rencana restrukturisasi Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), pemerintah dapat memasukkan unsur penegak hukum. Ini diharapkan dapat membuat BPOM memiliki kekuatan penegakan hukum secara langsung.
Dede berharap BPOM tidak hanya diisi oleh ahli farmasi, tapi juga diisi oleh aparat penegak hukum. ''Sehingga memiliki kekuatan seperti BNN atau lembaga lain. Poinnya, nanti mereka bisa melakukan penegakan hukum secara langsung,'' ujar Dede kepada wartawan di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (18/7).
Masuknya unsur penegak hukum diharapkan bisa mencegah terjadinya praktek pemalsuan vaksin, obat, atau bahkan makanan di kemudian hari. Dalam menelusuri kasus vaksin palsu yang tengah hangat, Komisi IX DPR RI berencana membentuk panitia kerja (panja) ataupun panitia khusus (pansus) vaksin palsu.
Bahkan, tidak hanya vaksin palsu, nantinya panja atau pansus ini, juga akan menelusuri soal obat palsu. ''Karena memang obat palsu ini banyak yang beredar,'' tutur politisi Partai Demokrat tersebut.
Lebih lanjut, Dede menjelaskan, unsur-unsur penegak hukum di BPOM nantinya dapat mengetahui adanya obat ataupun vaksin palsu di jalur-jalur perdagangan obat. Selain itu, Dede berharap masyarakat tidak sepenuhnya menyalahkan dokter ataupun pelayanan kesehatan terkait maraknya vaksin palsu tersebut.
Sebab dokter ataupun tenaga kesehatan belum tentu tahu jika vaksin atau obat tersebut palsu. ''Jadi yang mengetahui itu hanya pemain-pemain yang ada di jalur-jalur perdagangan obat,'' tuturnya.
Terkait pencegahan peredaran vaksin atau obat palsu di kemudian hari, Dede mengungkapkan, pihaknya juga mulai mengusulkan untuk adanya mekanisme barcode di setiap obat dan vaksin. Nantinya setiap rumah sakit dan pusat pelayanan kesehatan dapat memindai barcode.
Jika sudah dipindai, maka obat tersebut sudah tidak bisa digunakan lagi. ''Ini semua akan kami pelajari. Termasuk kewenangan BPOM dan undang-undang yang baru,'' ujar Dede.