Selasa 19 Jul 2016 06:51 WIB

Terpidana Kasus Askrindo Ajukan PK

Red: Karta Raharja Ucu
Palu hakim (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Palu hakim (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terpidana kasus PT PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo), Benny Andreas Situmorang, mengajukan upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali (PK). Dirut PT Jakarta Securities ini mempunyai bukti baru berupa keputusan Pengadilan Negeri (PN) Depok, Jawa Barat, yang memenangkan gugatan perdata Benny atas oknum PT Askrindo.

Secara formil pengajuan PK yang diajukan Benny tersebut sudah diterima PN Jakarta Pusat. Karena itu, menurut Benny, bukti baru itu sudah layak diuji di majelis PK Mahkamah Agung (MA).

Saat ini, persidangan PK Benny sedang berjalan di MA. “Kemenangan di gugatan perdata itu novum yang saya ajukan untuk PK saya,” kata Benny menjelaskan, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (18/7) malam.

Benny optimistis, PK dia bakal dikabulkan majelis PK. Dia menjelaskan, kasus yang menimpa ini unik karena ada dua putusan untuk kasus yang sama. Dalam kasus pidana korupsi, Benny dinyatakan bersalah dan divonis 10 tahun yang pertama. Padahal, dalam gugatan perdata untuk kasus yang sama, pengadilan mengabulkan gugatan Benny. Kedua putusan ini pun sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Sebelumnya, dalam keputusannya, Majelis Hakim Agung MA memperberat hukuman Benny menjadi dua kali dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Sebelumnya, dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Benny divonis lima tahun penjara, dan di tingkat banding, hakim pengadilan tinggi mengautkan keputusan pengadilan Tipikor.

Kasus korupsi dana PT Askrindo menjadi tanda tanya lantaran di seluruh tingkat peradilan, tak ada keputusan bulat dari majelis hakim. Baik di pengadilan tingkat pertama, banding, hingga kasasi, selalu muncul desenting opinion atau pendapat berbeda dari salah satu anggota majelis.

Di sidang pengadilan Tipikor misalnya, hakim Alexander Marwata mengajukan pendapat berbeda atas kasus ini. Alexander, kini menjadi salah satu komisioner di KPK.

Dalam sidang putusan kasasi itu juga ada pendapat berbeda dari Hakim Agung Leopold Luhut Hutagalung. Artinya, tidak ada kata mufakat dari majelis hakim agung yang diketuai Artidjo Alkotsar. Akibatnya, keputusan diambil dari suara terbanyak.

“Tanpa keputusan bulat dari majelis kasasi, hukuman saya justru diperberat menjadi 10 tahun penjara," kata Benny mengeluh.

Seperti tertuang dalam putusan kasasi,Hakim Agung Leopold menegaskan, terdakwa memang terbukti ada perbuatan. Namun bukan merupakan tindak pidana korupsi.

Pasalnya, dari fakta persidangan terbukti bahwa seluruh penempatan dana dari PT Askrindo kepada PT Jakarta Asset Management (JAM) atau PT Jakarta Investment (JI) dan PT Jakarta Securities (JS) dibuat berdasarkan atas kebebasan berkontrak yang dianut dalam hukum perdata.

Penempatan produk produk investasi hakikatnya merupakan perjanjian pinjam meminjam uang atau bisa disebut perjanjian hutang-piutang yang berkembang dalam hukum bisnis pada era kontemporer. Dalam perjanjian inimemang mempunyai risiko-risiko dari paling tinggi sampai paling rendah sesuai dengan bentuk dan keuntungan yang diperoleh.

"Bukan seperti perjanjian hutang piutang yang konvensional seperti deposito yang memakai jaminan yang aman," ujar Leopold, seperti tertuang dalam putusan Kasasi.

Adapun perbuatan JAM/JI dan JS yang tidak mengembalikan sebagian besar hutangnya kepada PT Askrindo dalam hukum perdata dikategorikan sebagai wanprestasi sesuai pasal 1236 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Sesuai pasal 1243 KUHPerdata pihak yang tidak mengembalikan keseluruhan hutangnya akan dikenakan keharusan memenuhi kewajibannya ditambah biaya dan kerugian serta bunga.

Jadi, pendapat Leopold, perbuatanterdakwa sudah ada aturan khusus dalam hukum perdata, sehingga tidak boleh dikriminalisasi sebagai tindak pidana. Perbuatan itu dapat dikategorikan tindak pidana korupsi apabila penempatan dana itu diperoleh JAM/ JI dan JS dengan cara paksaan, penipuan, dan manipulasi lainnya.

"Jadi, tidak berdasarkan asas kebebasan berkontrak dan kata sepakat," tegas Leopold.

Berbeda dengan Askrindo sebagai badan usaha milik negara (BUMN) yang diberi amanah mengelola keuangan negara. Askrindo diwajibkan memilih produk-produk investasi tidak berisikotinggi dan dengan jaminan yang pasti danlayak. Karena itu, sudah tentu Askrindo harus bertanggung jawab apabila ia secara sembrono melepaskan danakelolaannya.

Sebaliknya, bagi swasta yang tidak terbukti melakukan paksaan, penipuan, dan manipulasi-manipulasi lainnya sudah tentu tidak sama pertanggungjawabannya dengan BUMN.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement