REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat terorisme Harits Abu Ulya menyarankan sebaiknya urusan terorisme tidak menjadi domain dari Polri saja. Penumpasan terorisme juga dinilai pelru melibatkan TNI
"Keterlibatan TNI hanya perlu dibuatkan regulasi yang tepat dan available agar tidak kontraproduktif ke depannya," ujarnya, Senin (25/7).
Direktur Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) ini mengatakan TNI hari ini telah mengalami transformasi luar biasa. Jadi publik tidak perlu trauma dengan masa lalu. "Perlu di pertimbangkan dan dicoba untuk memberikan porsi yang tepat dan dituangkan dalam Undang-Undang terorisme tentang peran TNI dalam menanggulangi aksi terorisme yang saat ini cenderung dikebiri Polisi," kata dia.
Untuk melakukan hal itu, lanjutnya, hanya diperlukan dewan pengawas yang betul-betul independen dan berintegritas guna mengontrol penuh, mulai dari hulu sampai hilir dari proyek kontraterorisme di Indonesia. Dengan demikian, hal itu bisa meminimalisasi kekhawatiran adanya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) apabila TNI diberi porsi lebih dalam urusan terorisme. Porsi lebih untuk TNI tersebut, terutama untuk operasi gerilya terorisme.
Menurut Harits, operasi Camar Maleo dan Tinombala membutuhkan waktu lama lantaran sinergitas yang solid tidak berjalan optimal. Apalagi, kemampuan personel non-TNI untuk operasi gunung sangat rendah sehingga banyak lubang tikus yang bisa ditembus kelompok Santoso selama pelariannya.
Seperti diberitakan sebelumnya, saat ini muncul wacana terkait perlunya keterlibatan TNI dalam porsi yang lebih dibandingkan saat ini. Dari pihak Polri, melalui pernyataan terbuka Kapolri Jendral Tito Karnavian mengisyaratkan ketidaksetujuannya keterlibatan TNI lebih dari porsi sekarang. Dalihnya adalah potensi pelanggaran hak asasi manusia (HAM), abusse of power sampai soal tidak terakomodasi dalam sistem peradilan pidana mengingat terorisme adalah tindakan pidana yang dikategorikan kejahatan luar biasa.
Dia mengatakan perlu diingat dan dicatat bahwa upaya penindakan hukum oleh polisi juga kerap terjadinya pelanggaran HAM meski selama ini berusaha ditutupi. "Paling tidak, kasus Siyono-Klaten adalah kunci kotak pandora persoalan tersebut," kata Harits.
(Baca juga: Pengamat: Wacana Amnesti untuk Pengikut Santoso Perlu Disambut Baik)