REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai, potensi masuknya dana repatriasi dari kebijakan amnesti pajak yang mencapai Rp 1.000 triliun berpotensi memicu penggelembungan harga saham.
Kepala Eksekutif Bidang Pengawasan Pasar Modal OJK, Nurhaida menjelaskan, hal itu akan terjadi jika tidak dibarengi upaya mengkreasikan instrumen investasi di pasar modal.
"Dalam rangka market deepening, kebijakan tax amnesty ini sejalan dengan program pendalaman pasar keuangan. Tanpa supply dan demand yang seimbang, ini bisa terjadi bubble harga saham," ujar Nurhaida dalam acara Sosialisasi Amnesti Pajak dan Perkembangan Kebijakan Ekonomi Indonesia di Jakarta, Selasa (26/7).
Dengan demikian, menurutnya perlu adanya keragaman produk investasi di pasar modal untuk mengakomodir kebutuhan calon investor yang akan menempatkan dana repatriasi di sistem keuangan Indonesia.
"Kami berharap dana repatriasi bisa meningkatkan permintaan terhadap produk di pasar modal," ujarnya.
Nurhaida mengatakan, sejauh ini OJK terus mendorong suplai instrumen investasi selain saham dan obligasi. Selain itu, OJK juga sedang mengupayakan agar dana masuk dari kebijakan amnesti pajak bisa bertahan lebih dari tiga tahun atau bahkan selamanya berada di wilayah Indonesia.
"Adanya kalimat di-lock up tiga tahun, terkesan bahwa setelah tiga tahun dana itu akan keluar lagi. Yang kita harapkan dana itu stay seterusnya, jadi banyak hal yang harus diperbaiki agar pemilik dana mau tetap stay di Indonesia,"katanya.
Ia berharap, perusahaan sekuritas dan Manajer Investasi bisa mengeluarkan produk investasi yang memiliki daya tarik dan mengundang minat investasi secara berkelanjutan.
Sebelumnya pada Jumat (22/7), Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman D Hadad menilai, industri keuangan memiliki waktu tiga tahun untuk menyempurnakan instrumen keuangan yang dapat menampung dana repatriasi amnesti pajak. Hal ini dimaksudkan agar dana tersebut dapat di lock up atau ditahan di dalam negeri dalam waktu lebih dari tiga tahun.