REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Oknum aparat pemerintah di Nusa Tenggara Timur (NTT) diduga ikut berperan dalam pengiriman tenaga kerja keluar negeri. Caranya dengan memalsukan identitas diri calon tenaga kerja dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) calon tenaga kerja.
"Banyak oknum aparat yang diduga terlibat dalam kasus pengiriman Tenaga Kerja ilegal asal NTT, oleh karena itu bagi oknum aparat pemerintah yang terlibat dalam penerbitan dokumen calon tenaga kerja harus diproses secara hukum," kata anggota DPD RI asal daerah pemilihan NTT, Abraham Paul Lianto dalam pertemuan dengan masyarakat Kabupaten Kupang di Oesao, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, Rabu (27/7).
Ia mengatakan, modus yang dilakukan dalam memuluskan pengiriman tenaga kerja keluar negeri dengan memanipulasi identitas diri dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) calon tenaga kerja seperti memanipulasi umur. "Usia calon tenaga kerja seharusnya masih dibawah 17 tahun. Lalu di KTP menjadi 20 tahun. Modus seperti ini sering dilakukan dan sangat merugikan pekerja asal NTT," tegasnya.
Abraham berharap para kades di Kabupaten Kupang, memperketat sistem administrasi di desa. Dia meminta aparat tidak memberi begitu saja surat keterangan identitas diri terhadap pihak yang mengajukan permintaan pembuatan KTP. Ia mengatakan, banyak calo yang bermain dalam proses perekrutan tenaga kerja yang berkeliaran di NTT. Sehingga butuh keseriusan kepolisian dalam melakukan penertiban terhadap calon yang mengirim tenaga kerja asal NTT secara ilegal keluar negeri.
"Tentu warga NTT tidak ingin peristiwa yang dialami para TKI asal NTT seperti Nirmala Bonat asal Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS),Nusa Tenggara Timur (NTT) terulang kembali," tegasnya.
Mantan Ketua APJATI NTT ini, mengaku sangat sedih ketika mendengar banyak tenaga kerja asal NTT pulang ke NTT dalam kedaan tidak bernyawa dengan kondisi tubuh penuh jahitan. "Sedih sekali melihat penderitaan dialami tenaga kerja dari NTT," tegasnya.
Menurut dia, peristiwa dialami tenaga kerja Indonesia seharusnya tidak terjadi apabila pemerintah Indonesia secara serius melakukan penataan sistem perlindungan terhadap tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri. "Indonesia harus belajar dari negara Philipina yang memiliki sistem pengelolaan tenaga kerja migran yang baik di LN, sehingga tidak terjadi kasus-kasus kekerasan fisik seperti yang dialami tenaga kerja asal Indonesia," ujarnya.