REPUBLIKA.CO.ID, Gugusan Bimasakti dan ratusan miliar bintang, membentang dari utara ke selatan. Tampak juga rasi Angsa (Cygnus) di langit utara dengan segitiga musim panas (summer triangle), tiga bintang terang di sekitar rasi Angsa yaitu Vega, Deneb, dan Altair. Sementara di langit selatan, terlihat rasi Layang-layang atau Salib Selatan (crux) yang biasa digunakan sebagai petunjuk arah selatan. Demikian juga rasi Kalajengking (Scorpio) dengan bintang terang Antares persis di atas kepala.
Pemandangan itu, kini sudah langka terjadi di banyak wilayah perkotaan dunia. Penyebanya, karena semakin parahnya polusi cahaya. Polusi yang dimaksud adalah bertaburannya cahaya lampu perkotaan yang menyebabkan langit tampak terang, sehingga mengalahkan cahaya bintang.
Miliaran gugusan bintang yang redup seperti Sungai Perak—Gingga (bahasa Jepang), Jalur Susu-Milky Way (bahasa Inggris) atau Selendangnya Bimasakti (nama galaksi kita dalam bahasa Indonesia), seakan menghilang dari pandangan. Penyebabnya tak lain adalah polusi cahaya tersebut.
Namun, kita tak perlu khawatir tak bisa minikmati pemandangan indah tersebut. Karena, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), telah mengusulkan kepada pemerintah untuk menjadikan daerah tertentu sebagai kawasan bebas polusi cahaya. Kawasan ini biasa disebut ‘Taman Langit Gelap’ (Dark Sky Park) yang juga sekaligus menjadi kawasan obeservatorium nasional. Lokasinya berada di Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Dalam keterangannya Kepala Bagian Humas LAPAN Jasyanto mengatakan, pada tanggal 6 Agustus, LAPAN telah mencanangkan sebagai Hari Keantariksaan. Pada tanggal itu, sekitar pukul 20.00 – 21.00 waktu setempat di seluruh wilayah Indonesia, masyarakat Indonesia bisa menikmati indahnya malam bertabur bintang.
“Caranya dengan mematikan semua lampu yang ada di luar ruangan. Pada waktu tersebut, langit mulai gelap total, karena matahari jauh terbenam dan cahaya senja sudah menghilang,” ujarnya, Rabu (3/8). Pada moment itu, LAPAN mengkampanyekan ‘Malam Langit Gelap’ (Dark Sky Night).
Kampanye ini, kata Jasyanto, bertujuan untuk membangun kesadaran public tentang pentingnya menyelamatkan malam dari polusi cahaya yang telah menyita keindahan langit malam. Kata dia, aksi mematikan lampu tersebut untuk meminimalisasi polusi cahaya selama satu jam, sekaligus kampanye hemat energy.
Kampanye tersebut juga merupakan bagian dari aksi peringatan hari besar tersebut. Apalagi, musim kemarau yang terjadi pada Agustus, berpeluang tinggi untuk mengamati langit cerah bertabur bintang, asalkan dengan melakukan kampanye itu.
“Kebetulan, pada Sabtu malam (6/8), saat malam tanpa bulan, kita juga beruntung dapat menyaksikan planet merah Mars dan planet bercincin Saturnus bersanding dengan bintang raksasa merah Antares,” ujarnya.
Dikatakan Jasyanto, dengan kondisi cuaca yang kering, sangat memungkinkan malah cerah paling banyak terjadi di ‘TamanLangit Gelap’ di Kupang, Provinsi NTT. Pasalnya, posisi Indonesia yang terletak di wilayah ekuator, sangat menguntungkan untuk mengamati langit utara dan selatan, tidak sperti wilayah di negara lainnya. “Para pencinta astronomi dapat menikmati taburan jutaan bintang dengan leluasa,” ujarnya.
Bahkan, bersamaan dengan pencanangan ‘malam langit gelap’ itu, akan diluncurkan E-Book’The Eclips: Gerhana Matahari Total – Catatan Peristiwa GMT 9 Maret 2016 oleh Kepala LAPAN Prof Thomas Djamaluddin. Buku ini merupakan rangkaian kegiatan dan hasil pengamatan dari TIM GMT Nasional yang akan menjadi dokumentasi dari perjalanan gerhana matahari tersebut.