REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Anggoro Pramudya
Twitter: @agopramudyaura
Secara mengejutkan Giampiero Ventura ditunjuk sebagai pelatih tim nasional (timnas) Italia yang menggantikan Antonio Conte per 18 Juli kemarin. Ventura mungkin bukanlah pelatih dengan CV juara. Ia gambaran kultur sepak bola Italia (Seri A) yang terbiasa mengutak-atik formasi dan taktik, menyesuaikan dengan kapasitas skuatnya. Gaya Ventura di samping lapangan bisa dibandingkan dengan model Gianni De Biasi atau Claudio Ranieri. Modal kecil, tapi hasil lumayan baik.
Menggantikan Conte tentunya bukan barang mudah bagi Ventura. Magis yang diberikan Conte diperhalatan Piala Eropa 2016 kemarin mampu mempengaruhi publik sepak bola dengan gaya bermain Italia yang cendrung taktis. Memilih pria 68 tahun itu untuk menangani Italia pun cukup mendapat sorotan.
Pemilihannya telah menampik spekulasi-spekulasi lain seperti Claudio Ranieri (Leicester City), Eusebio Di Francesco (Sassuolo), Fabio Cannavaro, Fabio Capello, Roberto Donadoni (Bologna), Walter Mazzarri, serta Vicenzo Montella yang akhirnya menangani AC Milan di musim 2016/2017. Wajar saja jika banyak fans bertanya siapakah sosok tak populer dengan dahi penuh kerut dan tak pernah merengkuh satu trofi pun selama 40 tahun kariernya.
Sebab prestasi Ventura hanya membawa Lecce menjuarai Serie C1 1995/1996. Pun, ia gagal meloloskan Torino ke Liga Eropa musim 2015/2016. Justru Di Francesco yang berhasil meloloskan Sassuolo ke Liga Eropa musim depan. Tapi sejatinya, ia lebih dari sekadar pelatih. Walau lebih sering melatih kesebelasan medioker, jasa-jasanya akan selalu diingat berbagai kalangan.
Terutama bagi Lecce, Bari dan Cagliari, yang pernah dibawanya promosi ke Seri A. Setelah itu ia pernah juga membesut beberapa kesebelasan Serie A ternama, seperti Sampdoria, Udinese dan Napoli, sebelum akhirnya menemukan rumah idamannya, Torino.
Ventura sudah dianggap segala-galanya oleh klub Kota Turin tersebut. Dirinya bukan cuma sekadar pelatih, tapi merupakan pencari bakat, guru dan sosok seorang ayah (the Godfather). Bahkan telah menjadi ikon Il Toro (Si Banteng), julukan Torino.
Bersama Il Toro, Ventura mencatatkan sejarah modern bagi sepak bola Italia. Hanya mengandalkan skuat seadanya, Torino mampu merobek stigma dengan melanggeng ke babak 16 besar setelah mengalahkan Athletic Bilbao di fase 32 besar Liga Europa 2014/2015. Mereka menjadi kesebelasan Serie A pertama yang berhasil menyingkirkan wakil La Liga yang memang mendominasi Eropa di kurun waktu satu dekade terakhir. Pencapaian itu, terakhir dilakukan Inter Milan saat menyingkirkan Barcelona pada Semifinal Liga Champions 2009/2012.
Kelebihan Ventura yaitu mengorbitkan pemain-pemain berkualitas seperti Christian Vieri, Leonardo Bonucci, Andrea Rannochia, Danilo D`Ambrosio, Angelo Ogbonna, Kamil Glik, Matteo Darmian, Ciro Immobile dan lainnya. Ventura juga dikenal sebagai pengorbit bek-bek andal. Hal inilah yang dinilainya menjadi faktor kunci dipilihnya ia sebagai pelatih Italia. Seperti diketahui, pemain bertahan berkualitas adalah backbone bagi timnas Italia.
Meski banyak catatan positif, Italia tak boleh menganggap kampanye mereka di Piala Eropa Prancis ini sebagai sebuah kesuksesan. Conte bisa dibilang tidak mewariskan blueprint apapun (selain manajemen pemain). Ventura memiliki kebebasan untuk memilih pemainnya.
Sebagaimana klub Seri A belajar pengelolaan dari Bundesliga, program timnas yang pada Euro lalu mematahkan kutukan tak pernah menang atas Azzurri ini patut dicontoh. Mereka membuat program jangka panjang yang mengutamakan kestabilan tim nasional, tak melulu diukur dari jumlah trofi, tetapi pencapaian di kejuaraan besar yang minimal hingga semifinal.
Ventura bisa membangun tim di sekitar Marco Verratti, pemain paling kreatif di Italia. Pemain-pemain seperti Lorenzo Insigne dan Stephan El Shaarawy harus dipertimbangkan sebagai wajah baru sepak bola Italia yang cepat dan teknikal (gaya yang dikembangkan Maurizio Sarri serta Luciano Spalletti). Bek-bek muda berpotensi macam Alessio Romagnoli dan Daniele Rugani bisa menjadi proyek berikut mengisi pensiunnya Andrea Barzagli dari timnas.
Hal itu memang menjadi visi dan misi tersendiri bagi Ventura dalam berkarier, yaitu mencetak pemain handal (terutama pesepakbola Italia) agar bisa mengharumkan nama negara. Sejauh ini manuver investasi masa depan bersama Granata (Torino) masih terlihat. Terakhir, Sang Kakek kelahiran Genoa dengan jeli mendatangkan calon-calon pemain masa depan La Nazionale seperti Davide Zappacosta, Daniele Baselli, Marco Benassi, Andrea Belotti. Bahkan seluruhnya merupakan pilar utama Italia U-21.
Sementara taktik yang diterapkannya yaitu dengan mengandalkan serangan dari sayap. Ventura selalu memberikan tanggung jawab yang besar kepada para winger. Lalu mereka akan didukung dengan gelandang yang berfisik kuat dan bermanuver tinggi. Maka dari itu para gelandang harus mampu melepaskan asis dari garis tengah lapangan guna membantu daya gedor lini depan.
Untuk menjalankan strateginya itu, Ventura mengandalkan formasi 3-5-2 yang sewaktu-wktu dapat berubah ke bentuk 4-2-4. Dan ilmu dari strategi formasinya sempat mengundang Conte untuk belajar kepada Ventura yang waktu itu melatih Pisa pada medio 2007-2009. Dirinya merupakan satu-satunya pelatih yang tetap memakai pakem 3-2-5 sejak zaman 1990-an.
Pendekatan taktik seperti itu juga jadi nilai plus, karena masa transisi Italia diyakini bakal berjalan mulus setelah Conte pergi. Selain itu, skema tersebut juga sesuai dengan apa yang diterapkan Juventus, klub yang sekian lama jadi poros Gli Azzurri.
Italia pun tak perlu takut akan inovasi taktik yang terus berkembang seiring perubahan zaman. Meski tergolong pelatih lawas, Ventura bukan orang yang konvensional. Dirinya begitu tanggap dengan perubahan yang terjadi dan inovatif.
Satu alasan lain yang membuat Italia menunjuk Ventura tentu saja karena faktor ekonomi. Krisis ekonomi yang tengah mendera Negeri Pizza dan terus menurunnya pamor Serie A, membuat federasi sepakbolanya, FIGC, jelas harus berpikir ulang untuk menggaji besar pelatih timnasnya.
PR di depan mata saat ini adalah berjuang di kualifikasi Piala Dunia 2018, dimana Italia tergabung dalam satu grup bersama Spanyol dan Albania. Hal ini sangat berat. Hal itu dikarenakan tak ada jatah gratis bagi runner-up yang harus melakoni playoff. Italia mau tidak mau harus bisa mengatasi Israel dan Macedonia juga.
Petualangan di Euro 2016 akan dikenang sebagai pencapaian //man-management// dan taktik bagus oleh Italia dalam rezim Conte. Tapi riwayat Italia masih menyimpan banyak rezim yang lebih gemilang untuk dijadikan patokan oleh Ventura, seperti Marcello Lippi dan Arrigo Sacchi.
Yang jelas, momentum kepercayaan suporter timnas harus dijaga dengan rangkaian hasil baik, serta permainan yang bagus. Selamat bertugas Giampiero Ventura, Forza Italia!