Kamis 18 Aug 2016 09:53 WIB

Kenikmatan Spiritual

Mencintai Allah (ilustrasi).
Foto: Wordpress.com
Mencintai Allah (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr Hasan Basri Tanjung

Suatu ketika, Nabi SAW berpesan kepada sahabatnya, tiga perkara yang siapa saja mendapatkan, ia akan merasakan manisnya iman. Menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari yang lain, mencintai seseorang semata karena Allah, dan benci kembali kepada kekufuran seperti ia benci jika dilemparkan ke dalam neraka." (HR Bukhari).

Syekh Qasim asy-Syamma’i ar-Rifa’i dalam syarahnya mengatakan, manisnya iman itu ibarat pohon. Batangnya sebagai pangkal iman, dahan laksana mengikuti segala perintah dan menjauhi larangan, kembang bunga yakni segala kebajikan yang bermanfaat bagi orang mukmin dan buahnya adalah amal ketaatan (QS [14]:24-25).

Hadis Nabi SAW di atas memberi inspirasi, paling tidak ada empat indikator pencapaian kenikmatan spritual. Pertama, tenang saat membaca atau mendengar Alquran. Alquran adalah kalaamullah yang diwahyukan kepada Nabi SAW, yang membacanya (menghafal) ibadah. Beruntunglah seorang yang tenang hatinya dikala membaca Alquran dengan tartil dan paham maknanya (QS [25]:32,73:4).

Damai pula hati saat mendengar lantunannya, terdiam dan menyimak dengan seksama (QS [7]:204,17:107). Betapa nikmatnya, jika untaian kalam Ilahi bisa bikin merinding, hati bergetar, dan berurai air mata (QS [8]:2, [7]:204, [17]:9). Kita mesti ber-mujahadah mentadabburi, mengamalkan dan mengajarkannya (HR Bukhari).

Kedua, tenang saat beribadah (zikir). Boleh jadi, Kita sudah beribadah sejak lama, namun adakah ibadah atau zikir itu melahirkan ketentraman jiwa? Sungguh, ibadah shalat, puasa, zakat, haji dan zikir mestinya mendatangkan kedamaian hati seorang Muslim, hatta pikiran jernih dan produktivitas meningkat (QS [3]:191, [13]:28, [21]:45).

Pernahkah merasakan nikmatnya shalat tahajud, zikir dan berdoa di depan Ka’bah atau wukuf di Arafah? Tandanya tenang dalam ibadah yakni khusuk, sungguh-sungguh, tidak buru-buru, diperbanyak dan abai urusan duniawi. Begitulah Nabi SAW dalam tahajud yang panjang hingga bengkak kakinya, karena rasa syukur (cinta) kepada Allah atas karunia iman yang dimilikinya (HR Bukhari).

Ketiga, tenang saat meninggalkan maksiat. Kenikmatan spritual dapat dirasakan ketika mampu menjauhkan diri dari maksiat. Setiap manusia pasti berdosa, baik kepada Allah (ritual), manusia (sosial), maupun alam (natural). Setiap dosa dan kesalahan itu membuat kegelapan hati (ad-dzulumaat) yang akan melahirkan kezaliman, baik dalam bentuk kata, sikap maupun perbuatan.

Kemudian, ia sadar (ingat) kepada Allah SWT dengan istighfar dan tobat, maka ia merasakan ketenangan diri (QS [3]:135-136, [7]:23, [66]:8). Begitu pun, jika mampu meninggalkan maksiat. Pernahkah merasakan kedamaian hati di saat tak jadi berbuat maksiat, padahal situasi dan kondisi sangat memungkinkan ? Rasa syukur pun bergelora dalam hati yang diliputi kesyahduan.

Keempat, tenang saat menghadap Allah. Boleh jadi, inilah puncak kenikmatan spritual, yakni tentram hatinya saat menghadapi kematian (sakaratul maut) dan rindu berjumpa dengan Allah SWT (QS 18:110). Nabi SAW mengajarkan doa agar diberikan rahmat, ampunan dan kemudahan dalam kematian. Beliau juga menghibur kita dengan kedatangan malaikat yang memperlihatkan apa yang akan dihadapi.

Ketika itu, tidak ada yang lebih disenangi kecuali bertemu dengan Allah. Begitu juga kepada orang kafir, sehingga tidak ada yang lebih dibencinya dari pada bertemu dengan Tuhan (mati) (HR Ahmad).

Prof Quraish Shihab menjelaskan dalam tafsirnya, bahwa menjelang kematian para malaikat akan turun kepada orang beriman dan membisikkan agar jangan takut menghadapi kematian dan sedih meninggalkan dunia yang melenakan (QS [41]:30). Allahu a’lam bish-shawab. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement