Senin 05 Sep 2016 14:12 WIB

Warga Filipina Takut Kritik Perang Narkoba Duterte

Aktivis Filipina meneriakkan tuntutan mengakhiri pembunuhan terkait perang narkoba yang digalakkan Presidan Rodrigo Duterte di luar markas polisi Camp Crame di Kota Quezon, Manila, Filipina, 24 Agustus 2016.
Foto: AP Photo/Aaron Favila
Aktivis Filipina meneriakkan tuntutan mengakhiri pembunuhan terkait perang narkoba yang digalakkan Presidan Rodrigo Duterte di luar markas polisi Camp Crame di Kota Quezon, Manila, Filipina, 24 Agustus 2016.

REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Mayat sopir taksi Eric Sison (22 tahun) dibiarkan terbaring dalam peti di kawasan kumuh Manila bersama seekor ayam, yang ditempatkan untuk secara simbolik mematuk kesadaran pembunuhnya.

Sison tewas pada bulan lalu oleh tembakan polisi, yang memburu pengedar obat terlarang di pemukiman Pasay, Manila. Dalam video rekaman penembakan Sison yang beredar di media gaul, terdengar suara "Jangan lakukan, saya akan menyerah!" Yang terjadi kemudian adalah suara tembakan.

Di samping peti mayat Sison terdapat poster bertuliskan "Keadilan untuk Eric Quintinita Sison" dan tulisan tangan "Pembunuhan Besar-besaran - Keadilan untuk Eric".

Gerakan untuk Sison itu adalah protes langka di tengah lonjakan pembunuhan terhadap warga Filipina dalam kebijakan keras terhadap pengedar dan pengguna narkotika sejak Rodrigo Duterte menjadi presiden dua bulan lalu. Hampir tidak ada yang menentang kebijakan mematikan itu.

Pada pekan lalu, jumlah keseluruhan orang yang tewas sejak 1 Juli telah mencapai 2.400 orang: sekitar 900 di antaranya tewas dalam operasi kepolisian. Sisanya adalah kematian saat pemeriksaan, kalimat dari pegiat hak asasi manusia untuk menggambarkan pembunuhan di luar hukum.

Reuters memberitakan lembaga penyelidik internal kepolisian Filipina (IAS) dan Komisi Hak Asasi Manusia (CHR) tidak bisa lagi menangani semua peristiwa pembunuhan tersebut. Mereka hanya menyelidiki sebagian kecil di antaranya untuk menemukan adanya pelanggaran hukum oleh polisi. Selain itu, saksi pembunuhan juga takut bersuara.

Di sisi lain, ketenaran Duterte yang masih tinggi dan ketakutan akan kebijakan kerasnya membungkam suara kritis dari kelompok warga. Sangat sedikit orang yang datang menyalakan lilin duka untuk memprotes pembunuhan ekstrajudisial.

Duterte sendiri balik menyerang lawan politiknya, Senator Leila de Lima, dengan menuding tokoh perempuan tersebut juga terlibat dalam pengedaran narkoba dan selingkuh dengan sopir pribadinya. "Hanya presiden yang bisa menghentikan ini," kata de Lima kepada Reuters pada pekan lalu.

Sementara itu, kritik dari PBB dan Amerika Serikat juga ditanggapi dengan umpatan kotor. Dia menolak bertemu dengan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki Moon dalam pertemuan puncak negara-negara Asia Tenggara pekan ini. Kepada Presiden Amerika Serikat Barack Obama, dia mengaku akan menampik nasihat dari seseorang yang membiarkan orang kulit hitam ditembak bahkan saat sudah menyerah.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement