REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr Hasan Basri Tanjung
Imam al-Bayhaqi meriwayatkan bahwa Nabi SAW berpesan, “Kun 'aaliman, aw muta'alliman, aw mustami'an aw muhibban, wa laa takun khaamisan, fa tahlik.” Artinya, hendaklah kamu menjadi orang berilmu (pengajar) atau penuntut ilmu (pelajar), atau pendengar (simpatisan) atau pencinta ilmu. Dan janganlah jadi orang kelima (provokator), niscaya engkau celaka.
Pesan di atas memberi isyarat agar kita mengambil posisi pertama. Jika tidak mampu, turun ke bawah, tapi bukan yang terakhir. Keempat posisi itu akan mendatangkan kenikmatan intelektual yang berbeda. Ada empat indikator kenikmatan intelektual. Pertama, suka membaca. Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi SAW adalah membaca (QS al-Alaq [96]: 1-3).
Membaca (iqra`) merupakan proses awal pembelajaran dan pintu ilmu pengetahuan. Pepatah Arab menyebut, “Ta'allam, falaisa al-mar`u yuuladu 'aaliman” (Belajarlah, sebab tidak seorang pun lahir berilmu). Siapa yang banyak membaca, wawasan keilmuannya akan meluas, mendalam, dan bijaksana.
Objek membaca bisa tersurat (ayat qawliyah, eksplisit), dan tersirat (ayat kauniyah, implisit). Kalaupun yang bisa membaca semakin banyak, tapi yang suka membaca itu hanya sedikit. Bagi sebagian orang, membaca menjadi kepuasan tersendiri dan kebiasaan yang tak bisa dilewatkan.
Kedua, suka menulis. Menulis disimbolkan dengan pena sebagai media pengajaran (QS al-Alaq [96]: 4). Pohon ibarat pena dan lautan sebagai tinta (QS al-Kahf [18]:109). Malaikat pun diutus untuk menulis amal manusia (QS Abasa [80]: 15-16). Jika orang yang suka membaca itu sedikit, yang suka menulis lebih sedikit lagi.
Betapa pun suka membaca, tapi tidak dituliskan, maka ia akan sirna. “Al-'ilmu shaydun wa al-kitaabatu qayduhu, qayyid shuyuudaka bi al-hibaali al-waatsiqah” (Ilmu itu ibarat buruan dan tulisan itu ibarat talinya. Ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat). Nikmat rasanya, jika tulisan terbit menjadi buku dan dibaca khalayak. Selain menjadi rujukan dan dikenang banyak orang, pahalanya pun mengalir hingga akhir masa.
Ketiga, suka mengajar. Membaca, menulis, dan mengajar adalah proses pembelajaran terbaik. Bagi seorang guru dan dosen, mengajar adalah proses belajar untuk mengajar lagi. Jika berhenti belajar, semestinya berhenti juga mengajar. Mengajar akan menambah ilmu dan Allah akan mengajari apa yang belum diketahui. Itulah kenikmatan luar biasa.
Allah SWT adalah guru bagi Nabi SAW dan beliau pun guru untuk sahabat (QS al-Baqarah [2]:31,129 dan QS Ali Imran [3]:164). Berilmu tapi tak mengajar laksana pedang tajam yang berkarat. Kata pepatah, “Al-ilmu bilaa 'amalin ka asy-syajarin bilaa tsamarin” (Ilmu yang tak diamalkan ibarat pohon tak berbuah). Seorang pengajar mestilah mengamalkan ilmunya. Jika tidak, Allah SWT pun murka (QS.2:44,61:2-3).
Keempat, suka mendekati Allah. Puncak kenikmatan intelektual adalah tambah dekat kepada sumber ilmu (al-'Aalim). Orang yang suka membaca, menulis dan mengajar, akan semakin mengerti hakikat kehidupan (QS al-Baqarah [2]:164 dan QS Ali Imran [3]: 191). Tetapi, tidak semuanya tambah dekat kepada Allah, kecuali alim ulama yang istiqamah dan beradab mulia.
Ilmunya melahirkan rasa takut sehingga pikiran, ucapan, dan perilakunya pun mendekati kepada Allah SWT (QS Fatir [35]: 28). Merekalah yang diberikan hikmah dan bisa memahami fenomena (QS al-Baqarah [2]: 269).
Imam Nawawi dalam Riyadush-Shalihin menukil riwayat bahwa Allah SWT, para malaikat, penghuni langit dan bumi, sampai semut di sarangnya dan ikan di lautan, memintakan rahmat kepada mereka. (HR Tirmidzi). Allahu a'lam bishawab.