Senin 12 Sep 2016 06:09 WIB

Pasar Kambing Tanah Abang dan Ahli Silat Betawi

 Wartawan senior Republika Alwi Shahab menghadiri Syukuran 50 Tahun Karya Emas Abah Alwi di Kantor Republika, Jakarta, Rabu (31/8). (Republika/ Wihdan)
Foto: Republika/ Wihdan
Wartawan senior Republika Alwi Shahab menghadiri Syukuran 50 Tahun Karya Emas Abah Alwi di Kantor Republika, Jakarta, Rabu (31/8). (Republika/ Wihdan)

Oleh: Alwi Shahab, wartawan Republika

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menjelang Hari Raya Idul Adha, di sepanjang Jalan KH Mas Mansyur, Tanah Abang, Jakarta Pusat, kita bisa dapati ratusan pedagang kambing, kebiasaan yang telah berlangsung dari tahun ke tahun. Setahu saya, kebiasaan ini telah berlangsung sejak 1950-an, saat pedagang hewan belum sebanyak sekarang. Tidak heran kalau Pasar Tanah Abang yang didirikan pada 30 Agustus 1735 atau lebih dua abad lalu itu dinamakan Pasar Kambing. Nama ini diberikan sejak keturunan Arab keluar dari Kampung Arab di Pekojan dan dibolehkan tinggal di Tanah Abang.

Seperti kebiasaan di Hadramut, saat mereka berimigrasi dan tinggal di Jakarta mereka menyukai daging kambing, kebiasaan dari tanah airnya. Waktu itu, di Pasar Tanah Abang berdiri kios kambing. Tapi, sejak beberapa tahun lalu, ketika Pasar Tanah Abang menjadi pusat pertokoan yang makin lama makin besar, entah bagaimna pedagang kambing harus rela tergusur. Para pedagang yang sebagian besar orang Betawi dan warga setempat tanpa perlawanan harus pindah ke Gang Kubur dan kini bernama Jalan Sabeni. Dinamakan demikian karena Sabeni adalah jago silat nomor wahid di Tanah Abang dan sangat dihormati masyarakat. Dia pernah diadu bermain sumo dengan ahli sumo dari Jepang dan tidak takut menghadapi tantangan opsir Jepang. Ahli sumo Jepang itu pun dikalahkan oleh Sabeni.

Di Tanah Abang banyak ahli-ahli silat macam Sabeni, seperti Ma’ruf dan Abdurahman Djeni. Pada 1960-an, ketika tinggal di Tanah Abang, saya sering menjumpainya ketika shalat Jumat di Masjid Al-Makmur yang letaknya tidak jauh dari Pasar Tanah Abang. Masjid yang dapat menampung ribuan jamaah mulanya adalah sebuah mushalla kecil yang dibangun pada 1794 oleh para keturunan Kerajaan Mataram. Kini, masjid yang telah berusia 300 tahun itu terkepung oleh ingar-bingar pusat perdagangan Tanah Abang. Sejarah masjid yang cukup tersohor itu berwal ketika Sulltan Agung menyerang Kota Jakarta pada 1628 dan 1629. Meski dikalahkan karena tidak didukung oleh logistik, para bangsawan Mataram merupakan juru dakwah yang andal. Banyak di antara mereka setelah tinggal di Jakarta, bukan hanya membangun tempat-tempat ibadah, tapi juga menjadi juru dakwah.

Di Jakarta, banyak masjid yang mereka bangun yang dijadikan sebagai tempat perlawanan melalui jalur dakwah. Masjid Al Makmur di Tanah Abang, pada 1915 telah diperluas oleh Habib Abu Bakar Al Habsyi, seperti terlihat saat ini. Masjid ini boleh dikatakan selalu banyak jamaahnya, di antara mereka terdapat para pedagang dan pembeli di Pasar Tanah Abang. Makin berkembangnya bisnis di Tanah Abang yang tiap hari didatangi ribuan pengunjung mengakibatkan Jalan KH Mas Mansyur dan sekitarnya seperti Kebon Kacang I sampai Kebon Kacang VI sudah berubah fungsi. Sebagian besar rumah-rumah penduduk sudah menjadi pertokoan, ekspedisi dan gudang-gudang. Tidak heran kalau harga tanah di Tanah Abang sekarang ini melonjak beberapa kali. Apalagi kalau berdekatan dengan proyek.

Kalau sampai 1970-an belum terdapat hotel di Tanah Abang, kini jumlahnya cukup banyak termasuk hotel berbintang. Ketika masih ada kuburan wakaf yang oleh Gubernur Ali Sadikin dibongkar jadi rumah susun Tanah Abang, warga keturunan Arab yang meninggal dunia dimakamkan di pemakaman wakaf (kini menjadi rumah susun). Sebelumnya, mereka dishalatkan di Masjid Al Makmur.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement