REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Anggota DPD RI DKI Jakarta AM Fatwa menilai, pembangunan di Jakarta masih bersanding dengan penderitaan rakyat. Hal itu dilihat dari pemukiman-pemukiman padat dan kumuh yang berada tepat di sekitar apartemen mewah seperti di Luar Batang, warga Jatinegara yang masih memanfaatkan keruhnya air kali Ciliwung untuk mandi dan mencuci.
''Bahkan nisan-nisan mewah kuburan untuk dijadikan dinding rumah seperti di Cipinang Besar,'' kata Fatwa, Senin (12/9).
Menurutnya, apa yang terjadi saat ini mengindikasikan bahwa keadilan sosial di UUD belum terwujud. Ironi ini menunjukkan cita-cita kemerdekaan yang tertuang dalam mukadimah UUD 1945 yang berbunyi, 'Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia', masih jauh panggang dari api.
"Padahal usia kemerdekaan kita sudah mencapai 71 tahun," ujarnya.
Jakarta justru menjadi kota yang tidak bersahabat bagi kalangan ekonomi lemah. Mereka digusur dan diusir dari rumah yang mereka bangun dengan jerih payah dari hasil tabungan puluhan tahun. Karena mereka tidak punya modal untuk mengubah status lahan yang mereka diami, dari ilegal menjadi legal.
''Sementara itu, kalangan mapan mampu mengubah status lahannya dari ilegal menjadi legal," katanya.
Pembangunan pemukiman mewah tak ayal menjadi faktor penyebab banjir di Jakarta. Karena hutan bakau yang sejatinya diperuntukkan sebagai daerah resapan dan ruang terbuka hijau, diubah menjadi pemukiman elit, lengkap dengan beragam fasilitas mewah.
Disisi lain, Jakarta yang memiliki sejarah sebagai kota pelabuhan saat masih bernama Sunda Kelapa, di masa depan penduduknya tidak bisa melihat laut karena terhalang bangunan-bangunan tinggi di pulau reklamasi.
Jakarta yang punya riwayat sebagai kota maritim, penduduknya tidak lagi bisa berprofesi sebagai nelayan. Fatwa menjelaskan, bahwa di tahun 2015 menjadi tahun yang paling kelabu bagi masyarakat miskin ibu kota.