REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Laporan kesehatan terbaru di Australia menunjukkan hampir sepertiga warga di sana menunda atau menghindari pergi ke dokter gigi sama sekali karena biaya.
Laporan yang diterbitkan Institut Kesehatan dan Kesejahteraan Australia menemukan warga yang telah mengunjungi dokter gigi dalam 12 bulan sebelumnya, 20 persen dari mereka tak melanjutkan pengobatan yang dianjurkan karena masalah biaya.
Sebanyak 44 persen warga yang tak berasuransi menghindari janji dengan dokter gigi sama sekali. Dan bahkan warga dengan asuransi kesehatan swasta juga menundanya, dengan 20 persen di antaranya mengatakan mereka menghindari biaya kontrol dokter gigi.
Biaya modal dan tenaga kerja yang tinggi disebut sebagai penyebab
Dokter gigi asal Perth, Anish Shah mengatakan meski ia mengerti banyak orang menghindari perawatan gigi karena mahal, biaya tinggi yang sulit dikurangi. "Kedokteran gigi sangat lekat dengan teknologi dan proses yang terampil, padat karya dan jadi itu bukan sesuatu yang bisa dikonversi ke situasi pasar di mana harga bisa turun," jelasnya.
"Modal awal untuk membuka praktik begitu signifikan. Total biaya yang pasien harus bayarkan tak hanya meliputi jasa dokter gigi tetapi juga staf resepsi, staf perawat, lisensi dan sewa.Jadi total biaya prosedur mungkin rendah tetapi ada banyak biaya pendukung yang perlu diperhitungkan pada saat yang sama," kata Anish Shah.
Derita kantong vs sakit gigi
Meski demikian, bagi beberapa pendengar radio di Perth, biaya dokter gigi terbukti mahal.
"Saya selalu, dari usia 18 tahun, melakukan pemeriksaan rutin 12 bulanan -dan untuk 35 tahun ke depan saya dan keluarga saya melakukan ini. Kemudian tujuh tahun yang lalu, biaya dokter gigi keluarga kami naik dari 150 dolar (atau setara Rp 1,5 juta) ke 400 dolar (atau setara Rp 4 juta) untuk tambal gigi dan pembersihan karang, jadi saya bilang kepadanya, kami tak akan kembali dan kami sungguh tak melakukannya," kata penelepon bernama Helen.
"Sayangnya, biaya adalah satu-satunya alasan yang membuat saya tak pergi,” ujar pendengar bernama Peter.
“Saya menghindarinya selama bertahun-tahun, menahan nyeri, lalu akhirnya suatu hari saya tak tahan lagi dan pergi ke dokter gigi. Beberapa ribu dolar dan empat gigi bungsu saya dicabut dan tak lagi sakit. Ya itu mahal tapi saya lebih suka menderita di kantong daripada di mulut," kata penelepon lainnya.
Seorang penelepon bahkan mengaku pergi ke luar negeri untuk mengakses perawatan gigi yang lebih murah.
"Itu akan membebani saya 15 ribu dolar (atau setara Rp 150 juta) untuk beberapa perbaikan gigi di Perth, namun adik saya menyuruh saya pergi berobat ke Cina yang hanya menelan biaya 3.000 dolar (atau setara Rp 30 juta). Pekerjaannya sempurna dan saya menghabiskan sebulan lagi di sana untuk berlibur sementara berada sana."
Perubahan generasi
Kabar baiknya adalah kesehatan mulut dan ilmu pencegahan penyakit gigi tampaknya menyebar luas diantara generasi muda. Sebuah laporan menemukan anak-anak berusia lima-14 tahun, 79 persen dari mereka telah mengunjungi dokter gigi pada tahun lalu, dan 91 persen dalam dua tahun terakhir.
Kaum muda memiliki kesempatan terbaik untuk menghindari pengobatan gigi di kemudian hari, menurut Anish, berkat perawatan yang lebih baik dan floridasi dalam air minum.
"Generasi muda jelas jauh lebih baik dalam kesehatan mulut karena jumlah pendidikan telah meningkat secara signifikan. Juga, kepatuhan datang ke dokter gigi secara teratur untuk alasan pencegahan berarti tak banyak kunjungan ke dokter gigi perlu dilakukan, dan mereka memiliki kebersihan mulut yang baik,” ujarnya.
"Generasi yang lebih tua menanggung beban karena harus menjalani banyak pengobatan gigi," katanya.