Senin 19 Sep 2016 09:41 WIB

Bangun Masyarakat yang Rukun, Damai, dan Sejahtera

Keluarga perlu menjalani hidup dengan kasih sayang dan mencoba mengurangi ambisi untuk selalu jadi yang terbaik.
Foto: lgrc.us
Keluarga perlu menjalani hidup dengan kasih sayang dan mencoba mengurangi ambisi untuk selalu jadi yang terbaik.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: DR H Fuad Thohari MA *)

Dalam suasana bahagia, sebagai Muslim, hendaknya kita saling mendoakan; mudah-mudahan kita semua termasuk orang yang beruntung dan selalu mendapat hidayah-Nya.

Islam  itu seperti buih, Islam tidak lagi punya wibawa di mata pemeluk agama lain, akibat banyak diantara kita yang  حُبُّ الجاه و الْحَيَاةِ gila jabatan, gila pengaruh, dan membabi buta  dalam memburu mewahnya kehidupan duniawi, dan pada saat yang sama, kita ini justeru   كَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ    benci kematian.

Umat Islam banyak yang terkena virus al-wahn, gila jabatan, gila pengaruh, dan membabi buta  dalam memburu mewahnya kehidupan duniawi, dan pada saat yang sama, kita ini justeru   كَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ    benci kematian.

Nampaknya, realitas ini sejalan dengan nubuat al-rasul  Muhammad saw sebagaimana dinyatakan dalam sabdanya sebagai berikut:

سنن أبي داود - (ج 11 / ص 371)

عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهْنُ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ Artinya: Rasulullah bersabda, “Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian, seperti halnya orang-orang yang menyerbu makanan di atas piring.” Seseorang berkata, “Apakah karena sedikitnya kami waktu itu?” Beliau bersabda, “Bahkan kalian waktu itu banyak sekali, tetapi kamu seperti buih di atas air. Dan Allah mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn.” Seseorang bertanya, “Apakah wahn itu?” Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Abu Dawud).

Salah satu misi utama diutusnya Rasulullah SAW di muka bumi ini adalah untuk menyebarkan rasa kasih sayang, kerukunan, dan kedamaian. Suasana damai itu tidak hanya terhadap sesama manusia, tapi juga terhadap makhluk Allah lainnya, seperti: binatang, tumbuh-tumbuhan, air, bumi, dan sebagainya. Misi perdamaian ajaran Islam juga tercermin dalam kata ”Islam” itu sendiri, yang secara harfiyah (literal)  berarti selamat, sejahtera, aman, dan damai.

Kita harus menyadari, respons defensif dengan menyatakan, Islam itu berarti 'salam' (damai) saja tidak cukup. Setiap individu Muslim harus membuktikan tidak hanya dengan perkataan, tapi lebih penting lagi dengan amal perbuatan. Bahwa Islam dan kaum Muslimin adalah cinta damai dan betul-betul berorientasi menuju ke 'Dar al-Salam' dengan cara-cara yang damai.

Menegakkan amar ma’ruf nahy munkar merupakan perintah Islam. Tetapi, nahyu munkar harus dilakukan dengan cara-cara yang ma’ruf, yakni cara yang baik, damai, persuasif, penuh hikmah, bijak, dan pengajaran yang baik. Bukan dengan cara-cara yang di dalamnya justru mengandung kemungkaran, seperti pemaksanaan, kekerasan, apalagi terorisme.

Harus diakui, memang masih ada segelintir orang yang kebetulan beragama Islam melakukan tindakan kekerasan yang dapat dikatagorikan sebagai 'terorisme'. Terorisme tidak lain merupakan  tindakan kekerasan untuk menciptakan rasa ketakutan yang meluas dalam masyarakat dan dapat menimbulkan jatuhnya  korban secara tidak pandang bulu (indiscriminate)”. Bahkan anehnya, karena pandangan yang sempit, tindakan kekerasan itu tidak jarang diklaim sebagai  bagian dari ”jihad fisabilillah”.

Pemberian justifikasi keagamaan atas keadaan kekerasan ini jelas keliru. Karena, sesungguhnya hampir semua ulama sepakat bahwa jihad sah hanya sebagai usaha 'bela diri' (difa’iy), bukan agresi (ibtida’iy) yang melewati batas. Jihad yang sah hanya bisa dijustifikasi dan dinyatakan pemimpin dan ulama yang legilimate, bukan ditentukan  segelintir orang. Bahkan, jika jihad itu terpaksa dimaklumkan mereka yang memiliki otoritas, itupun tidak boleh dilakukan atas dasar (tendensi)  kemarahan dan kebencian yang membuat para pelakunya mengabaikan keadilan.

Allah SWT dengan nada serius mengingatkan dengan  Firman-Nya: وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

"Dan Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas". (QS Al Baqarah/2:190)

Selanjutnya Allah SWT juga berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآَنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُون, artinya: "Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(QS. Al Maidah/5: 8)

Karena itulah, dalam usaha membuktikan bahwa Islam merupakan agama perdamaian, setiap Muslim harus damai di dalam dirinya sendiri, tidak dikuasai hawa nafsu, amarah, dan kebencian. Untuk berdamai dengan diri sendiri, setiap Muslim harus hidup damai dengan Tuhan-Nya, dan harus betul-betul menyerahkan diri (taslim) kepada Allah SWT. Ia harus meninggalkan seluruh hawa nafsu angkara murka, tidak boleh merasa paling benar, dan tidak boleh memaksa orang lain dengan kekerasan untuk tunduk kepadanya. Hanya dengan mewujudkan perdamaian dalam diri masing-masing, perdamaian di antara manusia dan lingkungan hidup dapat diciptakan.

Allah SWT  berfirman dalam surat al-Fath: هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا  artinya: "Dialah (Allah) yang telah menurunkan ketenangan, kedamaian (Sakinah) kedalam hati orang-orang mukmin. Supaya keimanan mereka bertambah, disamping keimanan mereka (yang telah ada)". (QS. Al Fath:4)

Kita dilahirkan di zaman akhir, kita bukan Nabi, kita bukan Rasul, tetapi manusia biasa yang sering kali alpa, khilaf,  dan berbuat salah. Kesalahan dengan Allah ditutup dengan taubat, (menyesali, menarik, dan berjanji tidak mengulangi lagi). Kesalahan dengan sesama, (dosa sosial), hanya dengan minta dimaafkan dan dihalalkan. Jangan sampai kita menjadi orang "muflis" alias bangkrut.

Untuk itu, kalau kita ini menjadi pejabat, RT, RW, Camat, Menteri dan bahkan presiden, wajib bagi semua pejabat itu untuk meminta maaf kepada warga atau rakyatnya.

*) Lektor Kepala, Fakultar Syariah dan Hukum UIN Jakarta

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement