REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS -- Presiden Suriah Bashar al-Assad memutuskan untuk mengakhiri gencatan senjata dengan kelompok pemberontak. Ia menyalahkan kelompok pemberontak telah melanggar kesepakatan gencatan senjata yang berlangsung selama tujuh hari.
Pemerintah Suriah mengklaim, kelompok pemberontak memanfaatkan waktu gencatan senjata untuk mengumpulkan senjata dan menyerang daerah yang dikuasai pemerintah. Sedangkan PBB menuduh Pemerintah Suriah melanggar kesepakatan dengan memblokir pengiriman bantuan ke daerah-daerah yang dikuasai pemberontak.
Gencatan senjata juga dilakukan oleh Amerika Serikat (AS) dan Rusia, sejak 9 September lalu. Namun gencatan senjata berakhir ricuh ketika AS menewaskan puluhan tentara Suriah dalam sebuah serangan.
Dilansir dari Daily Mail, Assad mengatakan serangan AS terhadap pasukannya merupakan bentuk dukungan AS terhadap ISIS. Serangan AS disebut sebagai 'agresi terang-terangan' yang dilakukan AS.
Sementara Militer AS menyatakan serangan terhadap tentara Suriah merupakan aksi yang tidak disengaja. Pasukan Inggris, Denmark, dan Australia yang bersatu dalam koalisi, mengaku pesawat mereka mengambil bagian dalam serangan udara yang menewaskan sedikitnya 62 tentara Suriah tersebut.
Assad menjalin kerjasama dengan Menteri Luar Negeri Iran, Hossein Jaberi Ansari, untuk meminta bantuan. Ansari mengatakan Iran akan memberikan dukungan terhadap Suriah dalam menghadapi terorisme.