Kamis 22 Sep 2016 13:00 WIB

Saksi Ahli Kritisi Siaran Langsung Sidang Jessica

Rep: c39/ Red: Esthi Maharani
Terdakwa kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin, Jessica Kumala Wongso bersiap menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Kamis (1/9).
Foto: Antara
Terdakwa kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin, Jessica Kumala Wongso bersiap menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Kamis (1/9).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia (UI), Profesor Sarlito Wirawan Sarwono meminta agar persidangan kasus terpidana Jessica Kumala Wongso berjalan dengan steril. Artinya, tidak ditayangkan secara langsung oleh stasiun televisi. Ia beranggapan hal itu dapat menganggu keputusan hakim.

"Sudah berkali-kali saya diminta untuk menjadi saksi ahli di pengadilan. Tetapi baru sekali ini, saya mengalami sidang pengadilan yang 100 persen terbuka untuk publik dan disiarkan melalui stasiun TV secara penuh," ujar saksi yang pernah dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) ke sidang Jessica tersebut, Kamis (22/9).

Ia mengatakan, demi keadilan, pengadilan harus steril dan tidak boleh ada pengaruh dari luar, apalagi pengadilan oleh masyarakat (trial by the public). Karena itu, menurut dia, penyiaran langsung dari ruang sidang ke media massa dilarang, bahkan di era digital sekarang.

"Masyarakat boleh datang di sidang terbuka, tetapi hanya sebatas jumlah tempat duduk yang tersedia. Untuk masyarakat luas, hanya boleh melalui laporan wartawan yang hadir dan untuk penggambaran suasana pengadilan secara visual disiapkan artis gambar," ucap dia.

Setiap orang tahu, bahwa sebelum divonis oleh hakim seorang terdakwa belum dinyatakan bersalah. Namun, kata Sarlito, dengan menjadikan sidang Jesaica tontonan untuk masyarakat luas, maka semua pihak yang terlibat dalam pengadilan itu seakan ditelanjangi, atau saling menelanjangi, serta adu argumentasi berubah menjadi adu domba.

Menurut Sarliti, jika sidang pengadilan terkontaminasi pendapat publik maka juga bisa menyebabkan sesat pikir. Seharusnya, kata dia, JPU, penasehat hukum, saksi, dan hakim, serta terdakwa agar tetap berkonsentrasi pada materi kasus yang sedang dalam proses peradilan seperti barang bukti, keterangan saksi, dan lain-lain.

"Tetapi publik yang awam, sudah pasti teralihkan perhatiannya justru pada hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan kasus, seperti terdakwanya kok cool banget, wajahnya tidak berdosa, mana mungkin dia pembunuhnya? Atau debat kusir antara ahli dan ahli abal-abal yang tambah membingungkan, tetapi seru, seperti nonton sinetron," kata dia.

Ia mengatakan, masyarakat akan menjadi bingung karena teralihkan perhatiannya dari kasus ke asesoris kasus tersebut. Maka, lanjut dia, bukannya tidak mungkin bahwa hakim pun bisa terpengaruh, karena Hakim pun manusia. Kalau dia tidak pandai fokus ke materi perkaranya, kata dia, hakim tersebut akan terbawa juga pada drama yang dimainkan penasehat hukum, yang pasti akan mempengaruhi keputusannya.

"Jadi, menurut pendapat saya, gelar proses pengadilan lewat media massa TV sangat merugikan dan sangat berbahaya. Karena itu saya usul, bahwa sebaiknya, untuk ke depannya, kita ikuti UU Amerika, yang melarang penyiaran audio visual langsung dari ruang sidang pengadilan. Mungkin KUHAP kita perlu ditambah satu pasal khusus tentang larangan menyiarkan secata langsung proses sidang peradilan," jelas Sarlito.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement