Selasa 27 Sep 2016 17:47 WIB

Penutupan Pabrik Rokok tak Bayar Cukai Diapresiasi

Rep: Lintar Satria/ Red: Ilham
Petugas cukai menyusun rokok hasil sitaan (ilustrasi)
Foto: Antara/Irsan Mulyadi
Petugas cukai menyusun rokok hasil sitaan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti kebijakan publik Riyanda Barmawi mengapresiasi upaya pengawasan administrasi maupun fisik yang dilakukan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu). DJBC menutup pabrik rokok yang tidak patuh terhadap aturan.

Pabrik tersebut tidak membayar kewajiban mereka terhadap negara. Ia mengatakan, Dirjen Bea Cukai Heru Pambudi berupaya meningkatkan kepatuhan dan menekan peredaran rokok ilegal. Menurut Riyanda, hal ini sejalan dengan salah satu tujuan pengenaan cukai, yaitu pengawasan peredaran rokok.

"Peredaran rokok ilegal jelas-jelas merugikan negara hingga Rp 9 triliun. Karena itu, langkah Dirjen BC untuk meningkatkan pengawasan dan penindakan harus didukung dan dituntut secara nyata," katanya, Selasa (27/9).

Mengutip data pemerintah, Riyanda mengatakan peredaran rokok ilegal masih sangat marak. Sepanjang 2016 ini, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menyampaikan telah menindak sebanyak 1.300 kasus peredaran rokok ilegal. Ia menambahkan sekali lagi pemerintah butuh usaha ekstra untuk berantas peredaran rokok illegal.

Riyanda mengatakan, hasil survei UGM-Peruri tahun 2012, cukai ilegal ditemukan 0,5 – 0,7 persen dari target penerimaan cukai Rp 95 triliun atau setara Rp 412-596 miliar. Angka ini sangat kecil, katanya, tapi menggambarkan puncak gunung es, karena hanya mendasarkan pada survei atas kasus yang ditangani pihak pengawas.

Ia mencontohkan kasus di Singapura. Pada kurun 2000-2005, kenaikan cukai rokok di Singapura mencapai 135 persen dari harga 150 dolar Singapura per 1.000 batang (tahun 2000) ke 352 dolar Singapura (tahun 2005), atau rata-rata naik 27 persen per tahun. Riyanda mengatakan, di Singapura harga cukai rokok rata-rata mencapai 62 persen dari harga rokok.

"Tidak ditemukan angka pasti, tapi pada 2006, smuggling rokok meningkat. Volume rokok yang bercukai turun dari 3,2 miliar batang pada 2000 menjadi 2,0 miliar batang  pada 2005 atau turun 37 persen. Penerimaan cukai awalnya naik sebesar 48 persen, tetapi menurun 20 persen antara tahun 2003 ke 2006. Sehingga, Pemerintah memberhentikan kenaikan cukai tahun berikutnya," katanya.

Riyanda menuturkan, Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong kala itu mengatakan, pemerintah Singapura serius mempertimbangkan peningkatan cukai tembakau. Tetapi Pemerintah juga bimbang memutuskan, karena penerimaan negara terlihat menurun.  "Hal ini bukan karena perokok yang berkurang, tetapi karena penyelundupan meningkat," katanya.

Riyanda menjelaskan, Indonesia memiliki potensi besar, karena mudahnya akses orang terhadap bahan baku rokok, tinggi jumlah penduduk sebagai pasar potensial, relatif stabilnya tingkat kesejahteraan masyarakat, dan bentuk negara Indonesia yang kepulauan. Menurutnya, hal ini menyulitkan pengawasan, sebab tidak idealnya ratio antara jumlah pengawas dengan luasan area dan jumlah penduduk.

"Hal-hal krusial yang harus diperhatikan pemerintah adalah makin tinggi nilai cukai, makin besar potensi kematian pabrik, dimulai dari golongan menengah ke bawah. Makin tinggi nilai cukai, makin besar potensi angka smuggling rokok. Kebijakan kenaikan cukai yang proporsional dapat menjaga pertumbuhan industri dan mengontrol smuggling," jelasnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement