REPUBLIKA.CO.IDGUNUNG KIDUL -- Sebuah pemukiman berada tepat di sisi timur puncak Gunung Api Purba Nglanggeran, Gunungkidul, DIY. Seluruh bangunannya berbentuk limasan, berdinding kayu dengan lantai tanah. Tidak padat. Bahkan jarak satu rumah dengan yang lain saling berjauhan.
Kampung Pitu. Begitulah orang-orang menyebutnya. Sebutan tersebut disematkan bukan tanpa alasan. Nyatanya, sejak ratusan tahun lalu hingga sekarang, kampung tersebut memang dihuni oleh tujuh keluarga saja.
Hanya keluarga-keluarga terpilih yang dapat tinggal di sana, yaitu mereka yang kuat secara mental dan emosional. “Banyak yang tidak kerasan tinggal di sini. Baru beberapa bulan akhirnya pada pindah ke bawah (kaki Gunung Nglanggeran),” kata salah satu kepala keluarga di Kampung Pitu, Sugito (40 tahun), saat ditemui di rumahnya beberapa waktu lalu.
Namun demikian, keengganan masyarakat untuk tinggal di sana dinilai wajar. Pasalnya, kampung yang terletak di ketinggian 625 mdpl itu sangat sulit dijangkau. Perlu waktu berjam-jam jika ingin mencapai lokasi Kampung Pitu dengan berjalan kaki.
Menggunakan kendaraan bermotor tidak membuat perjalanan lebih mudah. Ada tanjakan dan tikungan curam yang harus ditaklukkan lebih dulu. Sebab, sampai saat ini hanya ada jalan setapak tanpa aspal yang biasa digunakan masyarakat untuk menjangkau Kampung Pitu.
Tekanan pun muncul dari sisi ekonomi. Di mana akses terhadap kebutuhan bahan baku sangat sulit dijangkau. Hal inilah yang akhirnya memaksa warga hidup dengan beternak dan bercocok tanam, entah berkebun atau mengelola sawah.
Beruntungnya, masyarakat tak pernah kesulitan memperoleh air. Sehingga ladang-ladang mereka tetap terlihat subur. Ternak mereka pun tak pernah kehausan. Namun, masalah pertanian tetap muncul.
“Di sini banyak kera ekor panjang. Jadi hasil pertanian sering rusak karena dimakan kera. Kita cuma dapat sisanya. Sedikit,” ujar sesepuh Kampung Pitu, Yatno Rejo (70), bercerita. Namun begitu, ia mengaku akan tetap tinggal di Kampung Pitu bersama keluarganya.
Baginya, Kampung Pitu merupakan tempat kelahiran yang diwariskan langsung oleh orang tuanya. Adapun kepala keluarga yang saat ini tinggal di Kampung Pitu adalah Surono, Warso Diyono, Dalino, Suhardi, Yatno Rejo, Sumadiyono, dan Sugito.