Rabu 05 Oct 2016 08:03 WIB

Bangsa Eropa yang Memilih Tasawuf

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Damanhuri Zuhri
Tasawuf (ilustrasi)
Foto: Blogspot.com
Tasawuf (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, MADRID -- Beberapa negara di Eropa khususnya Spanyol menjadi rumah bagi banyak imigran dari Afrika Utara yang kebanyakan dari mereka beragama Islam. Tidak sedikit bangsa asli Eropa tertarik oleh agama yang dibawa para imigran ini.

Uniknya, sebagian besar bangsa asli Eropa yang masuk Islam ini tertarik dengan tasawuf—cabang mistik Islam yang terbilang langka peminatnya. Di Spanyol saja, setidaknya terdapat 35 keluarga yang mulanya beragama Katolik memilih tasawuf sebagai jalan hidup mereka. 

Salah satunya Bahia, seorang pengajar di sekolah anak-anak di Montessori. Sebelum masuk Islam, Bahia mulanya bernama Maria Jose Villa Cascos. Bahia mengaku membutuhkan waktu yang tidak sebentar mencari jalan hidup yang tepat.

“saya memulainya di perguruan tinggi Katolik tempat saya kuliah di Seville. Butuh waktu bertahun-tahun untuk mempelajari, menyelidiki, meragukan dan bereksperimen sampai akhirnya saya tiba filosofi dan ajaran tasawuf,” kata Bahia dikutip BBC, Kamis (29/9).

Ketertarikannya dengan tasawuf ini karena ajarannya tentang toleransi, pemahaman yang luas dan cinta tanpa syarat dari manusia serta penolakan terhadap kekerasan. Tasawuf mengajarkan Bahia untuk berkonsentrasi pada kesederhanaan hidup dan menghargai spiritualitas di atas material.

Menurut Bahia, mualaf lainnya sudah hidup bertahun-tahun di Orgiva, wilayah terpencil di Spanyol.  Seperti masyarakat pada umumnya, para mualaf termasuk dirinya juga menggunakan ponsel, internet maupun media sosial.

Mereka berbisnis, seperti Bahia dengan sekolah Montessorinya dan sang suami yang memiliki toko peralatan listrik. Kendati demikian, sepanjang hidup mereka selalu didominasi oleh keimanan.

Satu-satunya yang membedakan mereka dari masyarakat lain adalah cara berpakaian seperti Bahia yang selalu mengenakan pakaian tertutup lengkap dengan hijab. Terkait banyaknya masyarakat yang mengasosiasikan Islam dengan tindakan radikal, Bahia menegaskan hal itu tidak terjadi di Orgiva.

"Di sini (Orgiva), tidak ada yang memperlakukan kami (umat Islam) dengan tidak baik karena di sini umat Islam komunitas yang cukup besar. Di tempat lain, orang mungkin akan menganggap saya seperti alien jika melihat saya berpakaian tertutu dan berhijab," kata Bahia.

Alih-alih prihatin dengan tatapan dan komentar buruk pemberitaan tentang Islam selama ini, Bahia justru fokus menggambarkan toleransi, cinta dan pengertian dalam Islam di lingkungannya.

"Orang memiliki pandangan yang sangat sepihak tentang Islam. Bom dan serangan teror menjadi berita utama. Ketidakseimbangan ini perlu ditangani dan orang-orang harus memahami bahwa Islam dan tasawuf berarti damai dan ketaatan total kepada Allah dan juga perahu yang membantu kita menyeberangi samudera kehidupan," kata Bahia.

Mualaf tasawuf lainnya, Qasim, mengaku perkenalannya dengan Islam khususnya tasawuf dimulai dari mempelajari ajaran Budha, Shamanisme, dan Psikoterapi. Perjalanannya itu sudah ia mulai sejak menginjak usia muda. Pria yang dulunya bernama Pedro Barrio ini terlahir dari keluarga katolik. Berkat seorang teman, Qasim menjadi sangat akrab dengan tasawuf.

 “Ketika saya menemukan ajaran ini dan mengetahui bahwa Yesus adalah seorang nabi dalam Islam, saya merasa seperti pulang ke rumah. Jadi saya memutuskan untuk menjadi mualaf dan keputusan saya ini memberi saya kedamaian dan tujuan dalam hidup," kata Qasim menerangkan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement