Senin 10 Oct 2016 17:47 WIB

Pernikahan Dini di NTB Tinggi

Rep: Muhammad Nursyamsyi/ Red: Ani Nursalikah
Ilustrasi Pernikahan Dini
Foto: Republika/ Wihdan
Ilustrasi Pernikahan Dini

REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana Provinsi NTB Baiq Eva Nurcahya Ningsih mengaku akan memprioritaskan pada persoalan tingginya jumlah pernikahan di bawah usia dini.

Ia mengatakan, angka pernikahan dini di NTB masih cukup tinggi. Penyebabnya karena kurangnya sosialisasi dan pengetahuan masyarakat sendiri.

"Masih banyak pernikahan dini, itu yang ingin saya lakukan," katanya usai pelantikan di Kantor Pemprov NTB, Kota Mataram, Provinsi NTB, Senin (10/10).

Untuk mewujudkan hal ini, pihaknya tentu tidak bisa berjalan sendiri, melainkan dukungan dari pihak lain seperti dinas kesehatan, dinas sosial, dan instansi maupun lembaga lain. "Kita akan sosialisasi terus," ujarnya.

Sebelumnya, Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi NTB Lalu Makripuddin mengatakan, tingkat pernikahan dibawah usia dini di NTB mencapai 58,1 persen berdasarkan hasil pendataan keluarga 2015.

Banyaknya jumlah pernikahan dini atau pernikahan dibawah usia 21 tahun ditengarai berkorelasi dengan tingginya tingkat perceraian. Ia memaparkan, 21,55 persen warga NTB berstatus janda dan duda.

"Pernikahan usia dini kita salah satu faktor yang menyebabkan perceraian," katanya kepada Republika.co.id di Kantor BKKBN NTB, Jalan Catur Warga, Kota Mataram, NTB, Selasa (4/10).

Menurutnya, pernikahan dini sangat tidak dianjurkan mengingat banyak hal yang dinilai belum disiapkan baik dari segi ekonomi, psikologi, dan kesiapan mental. Banyak dari remaja yang menikah pada usia dini belum siap mental, sehingga kata cerai kerap menjadi jalan keluar saat pertengkaran terjadi.

"Ada juga tradisi di Lombok yang kalau suami katakan seang atau cerai atau kepada istri maka perceraian itu terjadi," lanjutnya.

Dahulu, apabila suami telah mengucapkan kata tersebut maka istri hanya mendapatkan harta bergerak seperti pakaian, piring hingga lemari. Sedangkan, rumah dan sawah tetap menjadi milik suami. Berkembangnya zaman dan tingkat pendidikan, membuat istri saat ini berani menuntut harta gono-gini di pengadilan.

Faktor yang turut mempengaruhi tingkat perceraian di NTB ialah ekonomi. Banyaknya kepala keluarga baik suami atau istri bekerja di luar negeri sebagai TKI diyakini menjadi salah satu penyebab perceraian. Ia mengatakan, di kampung-kampung gugat cerai biasanya diungkapkan pihak suami yang dipandang memiliki hak mutlak, namun berbeda dengan gugatan cerai yang terjadi di pengadilan di mana kebanyakan dilakukan pihak istri.

"Kalau salah satu pergi ke Malaysia (TKI), biasanya ketahanan keluarga mereka agak rapuh, syarat-syarat keluarga yang kuat tidak terpenuhi dan menyebabkan perceraian terjadi," ucapnya.

BKKBN NTB, lanjutnya, terus menggencarkan sosialisasi kepada masyarakat NTB, termasuk para generasi muda dengan mengatakan tidak pada hubungan seks sebelum nikah, pernikahan usai dini, dan narkoba. Ia menambahkan, ketahanan keluarga merupakan salah satu fokus BKKBN, agar menghasilkan generasi yang kuat.

BKKBN NTB tentu tidak bisa bergerak sendiri melainkan juga bantuan dari instansi lain hingga para tokoh agama.

"Saya melihat tokoh agama sudah banyak yang bergerak. Tokoh agama sangat penting karena di Lombok tokoh agama sangat didengar kita berharap tokoh agama ikut menyuarakan agar tak terjadi perceraian," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement