Rabu 06 Dec 2023 19:33 WIB

Pernikahan Anak Tingkatkan Kasus KDRT

Tingginya kasus pernikahan anak menimbulkan banyak persoalan dalam rumah tangga.

Rep: Andrian Saputra/ Red: Muhammad Hafil
Diskusi bertajuk Kekerasan Terhadap Perempuan: Optimalisasi Peran Masyarakat dalam Pencegahan Perkawinan Anak di Gedung PBNU, Jakarta Pusat pada Rabu (6/12/2023)
Foto: Andrian Saputra / Republika
Diskusi bertajuk Kekerasan Terhadap Perempuan: Optimalisasi Peran Masyarakat dalam Pencegahan Perkawinan Anak di Gedung PBNU, Jakarta Pusat pada Rabu (6/12/2023)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA —  Tingginya kasus pernikahan anak di Indonesia telah membawa segudang persoalan. Salah satunya adalah peningkatan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). 

Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat secara nasional pada 2022 ada sebanyak 55 ribu permohonan dispensasi pernikahan anak yang diajukan ke pengadilan agama. Memang jumlah ini sedikit menurun dari 2021 yang tercatat ada 65 ribu permohonan dispensasi pernikahan anak. 

Baca Juga

Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Menteng Jakarta Pusat, Thowilan mengungkapkan bahwa di DKI Jakarta ada sebanyak 184 pengaduan dispensasi pernikahan anak pada 2022. Di mana 28 persen penyebabnya adalah karena kasus hamil di luar nikah. Sementara pada 2023 dari Januari hingga Juli, ada 44 persen kasus hamil diluar nikah dari 113 pengajuan permohonan dispensasi pernikahan anak. Sementara di Kecamatan Menteng pada 2022 tercatat ada 12 pasangan yang mendapatkan dispensasi pernikahan anak dari Pengadilan Agama. 

“Artinya apa bahwa dalam satu bulan Kecamatan Menteng itu menyumbang 1 pernikahan anak, di Indonesia itu  ada 5.923 KUA, bayangkan bila satu Kecamatan se-Indonesia ada 1 kasus saja (setiap bulan) betapa mengerikannya bagi masa depan Indonesia,” kata Thowilan dalam diskusi publik yang diselenggarakan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Lakpesdam PBNU) bekerjasama dengan INKLUSI dengan tema Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan: Optimalisasi Peran Masyarakat dalam Pencegahan Perkawinan Anak di Gedung PBNU, Jakarta Pusat pada Rabu (6/12/2023). 

Komisioner Komnas Perempuan yang juga Pengurus LKKNU, Maria Ulfah Anshor, menyebut bahwa tingginya kasus pernikahan anak menimbulkan banyak persoalan dalam rumah tangga di Indonesia terutama pada peningkatan kasus KDRT. Ia menyebutkan bahwa data Komnas Perempuan teranyar menunjukan kasus KDRT menjadi tertinggi dibanding kasus kekerasan lainnya. Di mana ada 79 persen kasus KDRT dari 6500-an kasus kekerasan yang terjadi. 

Dari banyaknya kasus KDRT itu 30 persen dilakukan dalam bentuk kekerasan seksual (pemaksaan) 31 peran dalam bentuk kekerasan fisik, dan 28 persen dalam bentuk kekerasan psikis. Yang lebih mengejutkan adalah kasus pernikahan anak, menurut Maria banyak juga terjadi di lingkungan lembaga pendidikan pesantren. Di mana umumnya terjadi antara pengajar dengan santrinya yang masih berusia dini. Meski begitu Maria tidak memaparkan berapa banyak jumlah pernikahan dini di lingkungan pesantren. 

Namun demikian, ia menjelaskan ada sederet faktor yang menyebabkan pernikahan dini terjadi. Di antaranya adalah pemahaman agama yang keliru hingga persoalan budaya. 

“Menikah bila telah mampu, mereka tidak berpikir bahwa mampu di sini tidak cukup mampu fisik (usia). Tetapi itu juga butuh kemampuan ekonomi, ilmu dan lainnya. Ada juga budaya di kita bahwa kalau ada yang melamar tidak boleh di tolak. Faktor pemahaman agama dan budaya ini terbesar,” katanya. 

Selain dari itu, menurutnya pernikahan anak usia dini terjadi karena faktor ekonomi. Di mana kemiskinan menjadi alasan dasar seorang memilih segera menikahkan anaknya. Selain itu karena faktor pendidikan hingga pola pengasuhan terhadap anak. Selain itu pemahaman anak terhadap kesehatan reproduksi yang lemah turut membuka pintu terjadinya hamil di luar nikah yang berujung pada pernikahan anak usia dini. 

Founder Fiqih Perempuan, Dhomirotul Firdaus menjelaskan pernikahan anak usia dini akan menyebabkan masalah-masalah baru. Pasangan yang menikah di usia dini menurutnya cenderung lebih mudah melakukan KDRT karena belum terkendalinya emosi dan minimnya ilmu. 

“Salah satu dampak perkawinan anak adalah KDRT. Minimnya ilmu dalam rimabrangga ini bisa menyebabkan KDRT. Tidak bisa mengontrol emosi, yang membaut pasangan mudah marah dan melakukan kekerasan. Dampaknya lebih lanjut adalah penelantaran rumah tangga,” katanya. 

Selain itu menurut Firdaus, terjadinya KDRT di tengah pasangan yang melakukan pernikahan dini adalah karena kekeliruan dalam  memahami bunyi ayat Alquran surat An Nisa ayat 34. Dalam ayat tersebut terdapat kata Wadribuhunna. Kata tersebut disalah artikan menjadi landasan melegalkan KDRT. Padahal ayat tersebut menjelaskan tentang bagaimana seorang suami bersikap terhadap istri yang nusuz. Yaitu dengan melakukan tahapan-tahapan mulai dari menasihatinya, menegurnya secara lisan, mendiamkannya, dan terakhir bila masih nusuz suami diperbolehkan memukulnya itupun dengan pukulan yang tidak menyakitkan atau membahayakan. 

“Jadi masih banyak yang gagal paham dengan kata Wadribuhunna. Ada tahapan-tahapan yang harus dilalui. Bahlan ketika harus memukul itu ada syaratnya, tidak boleh melukai, tidka dengan benda yang dapat menyakitkan, tidak boleh di luar rumah, tidak boleh pukulan itu membekas, tidak boleh di awali dengan pertikaian sengit,” katanya.

 

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement