REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bagi sebagian kalangan, tempat penyimpanan barang berharga harus layak dan dapat melindungi dari kerusakan atau kehilangan. Tempat penyimpanan yang kerap digunakan secara pribadi di rumah, misalnya, lemari besi.
Benda ini memang secara umum aman dari kebakaran, namun belum tentu dapat terjaga dari incaran pencuri. Kenyataan ini mendorong sebagian bank atau lembaga keuangan menyediakan jasa atau layanan safe deposit box (SDB).
SDB merupakan jasa penyewaan kotak penyimpanan harta atau suratsurat berharga yang dirancang secara khusus dari bahan baja dan ditempatkan dalam ruang khazanah yang kokoh, tahan bongkar, dan tahan api untuk memberikan rasa aman bagi penggunanya.
Lantas, bagaimana dengan hukum menggunakan jasa SDB menurut Islam?
Dalam Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), disebutkan bahwa berdasarkan sifat dan karakternya, SDB dilakukan dengan menggunakan akad sewa (ijarah). Atas dasar ini maka beberapa ketentuan dan syarat yang berlaku dalam akad sewa juga berlaku untuk SDB.
Soal rukun dan syarat, misalnya, ijarah yang dimaksud di sini, yaitu pertama harus terdiri atas ijab kabul, baik secara verbal maupun dalam bentuk lain. Kedua, terdapat pihakpihak yang berakad, baik dari kubu penyewa maupun pemberi sewa atau jasa. Unsur ketiga adalah keberadaan manfaat barang dan sewa atau manfaat jasa dan upah.
Terkait ketentuan objek ijarah, objek tersebut adalah manfaat dari penggunaan barang dan atau jasa. Selanjutnya, manfaat atau jasa tersebut mesti termasuk kategori yang halal. Besaran dan takarannya pun harus dikenali secara spesifik. Hal ini untuk menghindari ketidakjelasan yang bisa memicu sengketa. Misalnya, jangka waktu atau identifikasi fisik.
Demikan pula dengan nominal upah. Sebarapa besar upah tersebut harus disepakati dalam akad dan wa jib dibayar oleh penyewa atau lembaga yang memberikan pembiayaan. Namun, kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai syariat.
Ketentuan berikutnya yang berlaku ialah barang-barang yang dapat disimpan dalam SDB adalah barang yang berharga yang tidak diharamkan oleh agama dan dilarang juga menurut hukum dan perundangundang negara. Terkait hak dan kewajiban pemberi sewa dan penyewa, ditentukan berdasarkan kesepakatan sepanjang tidak bertentangan dengan rukun dan syarat ijarah.
Fatwa ini merujuk sejumlah dalil, antara lain, QS al-Qashash ayat 26, “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, ‘Ya bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita) karena sesungguhnya orang yang pa ling baik yang kamu ambil untuk be kerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.’”
Ayat lain juga menegaskan tentang bolehnya praktik sewa-menyewa itu. “Dan jika kamu ingin anakmu di susukan oleh orang lain maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Baqara [2]: 233).
Selain Alquran, fatwa tersebut menggunakan beberapa hadis sebagai argumentasi, antara lain, hadis riwayat Ahmad, Dawud, dan Nasaai dari Sa’ad bin Abi Waqash. Ketika itu, para sahabat pernah menyewakan tanah dengan bayaran hasil tanaman yang tumbuh pada parit dan tempat yang teraliri air maka Rasulullah melarang mereka melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar menyewakan tanah tersebut dengan emas atau perak.
Hadis lainnya yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah ra menyebut tentang praktik sewa-menyewa tersebut. Dalam kasus SDB, hukumnya dinilai sama. Hadis itu mengisahkan bahwa Rasulullah bersama Abu Ba kar ra, pernah menyewa dengan memberkan upah seorang laki-laki dari Bani Diil sebagai penunjuk jalan yang mahir, saat berada di Gua Tsur me nuju Madinah.
Hadis riwayat Abd Ar Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id Al Khudri juga menjadi landasan fatwa ini. Rasulullah bersabda, “Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.