Selasa 18 Oct 2016 06:21 WIB

Revisi UU Persaingan Usaha Diminta tak Memberatkan Pengusaha

Rep: Debbie Sutrisno/ Red: Nur Aini
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Rosan Perkasa Roeslani mengumumkan susunan kepengurusan kabinet Kadin 2015-2020 di Jakarta, Kamis (17/12).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Rosan Perkasa Roeslani mengumumkan susunan kepengurusan kabinet Kadin 2015-2020 di Jakarta, Kamis (17/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tengah memperjuangkan untuk melakukan revisi Undang-undang (UU) Nomor 5 tahun 1999 mengenai larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak seha‎t. Sebab UU ini disebut tidak memberikan efek jera kepada para pelaku monopoli perdagangan.

Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P Roeslani mengatakan, pihaknya mendukung adanya kinerja dari KPPU dalam melakukan perbaikan UU tersebut. Namun, berbagai kajian komprehensif harus dilakukan melalui penyusunan naskah akademik, mencakup berbagai aspek seperti ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Ini perlu segera dijalankan sebelum pengesahan RUU Persaingan Usaha tersebut, kata dia, dengan melakukan perbandingan hukum persaingan usaha yang umum dan berlaku secara universal.

"Hukum persaingan usaha seharusnya dibuat tidak memberatkan atau menghambat kegiatan usaha di suatu negara, namun disusun untuk memajukan dan mendukung perekonomian nasional," kata Rosan melalui siaran pers, Senin (17/10).

Rosan menjelaskan, saat ini KPPU telah mengusulkan denda atas pelanggaran ketentuan dalam RUU Persaingan Usaha dengan nilai tertinggi yang sangat signifikan, yaitu 50 persen dari omzet perusahaan dalam masa pelanggaran, dengan nilai denda maksimum Rp 2 triliun atau pidana penjara selama dua tahun.

Dalam pandangan Kadin, hal tersebut dianggap tidak wajar dan malah berpotensi mematikan pelaku usaha yang terkena sanksi tersebut. Jika perusahaan yang bersangkutan hendak mengajukan keberatan terhadap keputusan tersebut, yang bersangkutan harus membayar 50 persen dari denda yang ditetapkan.

Rosan menuturkan,‎ penguatan kewenangan bagi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) perlu dilakukan. Tapi mekanisme dan pelaksanaannya perlu diatur dengan jelas, sehingga tidak disalahgunakan untuk hal-hal yang tidak bertanggung jawab.

KPPU selayaknya tidak bertindak menjadi regulator seluruh kegiatan penggabungan usaha (merger), pengambilalihan (akuisisi), dan pembentukan usaha patungan yang dilakukan oleh pelaku usaha perdagangan dan perindustrian di tanah air. "Namun dapat dibatasi pada pengawasan terhadap aksi korporasi tersebut, yang berpotensi menghambat persaingan," kata Rosan.

Berdasarkan PP Nomor 57/2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, pelaku usaha wajib melakukan pemberitahuan mengenai penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan kepada KPPU, jika memenuhi batasan nilai yang dihitung dari perusahaan yang melakukan corporate action sampai dengan nilai ekuitas ultimate shareholders (pemegang saham tertinggi). Syaratnya, nilai aset badan usaha hasil penggabungan atau peleburan atau pengambilalihan melebihi Rp 2,5 triliun, atau nilai penjualan (omzet) badan usaha hasil penggabungan atau peleburan atau pengambilalihan melebihi Rp 5 triliun.

Dalam RUU Persaingan Usaha ini, kata Rosan, ketentuan post notification berubah menjadi pre-notification, yang artinya  pelaku usaha, karena harus menunggu hasil analisa dan rekomendasi KPPU melalui keputusan boleh atau tidak bolehnya dilakukan merger dan akuisisi oleh perusahaan, sebelum aksi korporasi tersebut dilakukan. “Mengenai hal ini perlu dipelajari implikasinya, apakah akan menghambat keputusan bisnis dan investasi usaha di Indonesia, sehingga menjadikan perkembangan ekonomi terpuruk, atau terbukti dapat mendukung perkembangan usaha di Indonesia,“ kata Rosan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement