Selasa 08 Nov 2016 07:09 WIB

'Komunikasi Jokowi dan Ulama Jangan Seperti Pemadam Kebakaran'

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Nur Aini
Presiden RI Joko Widodo (kedua kanan), dan Ketum PBNU Said Aqil Siradj (kanan) memberikan keterangan kepada wartawan seusai mengadakan pertemuan tertutup di kantor PBNU, Jakarta, Senin (7/11).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Presiden RI Joko Widodo (kedua kanan), dan Ketum PBNU Said Aqil Siradj (kanan) memberikan keterangan kepada wartawan seusai mengadakan pertemuan tertutup di kantor PBNU, Jakarta, Senin (7/11).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Komunikasi politik Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dengan para ulama idealnya dilakukan berencana dan berkesinambungan secara terus menerus. Komunikasi politik tersebut jangan hanya dilakukan pada saat kondisi sudah genting.

"Tidak boleh terjadi komunikasi politik pemerintah dengan berbagai pihak seperti 'pemadam kebakaran'," kata Direktur EmrusCorner Emrus Sihombing, Senin (7/11) malam.

Jokowi berkunjung ke kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan melakukan dialog dengan sejumlah pengurus pada Senin. Mereka membicarakan berbagai hal, termasuk kondisi situasi politik terkini di Tanah Air. Pada Selasa (8/11), Jokowi berencana bertemu dengan pengurus Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Menurut Emrus, kunjungan ini tentu sangat baik dalam rangka menjalin komunikasi silaturahmi dan atau komunkasi politik antarulama dan umara (pemerintah). Dengan demikian, segala persoalan kebangsaan dapat diantisipasi dan mempertemukan kesepatakan sebagai solusi mengatasi persolan kebangsaan lebih dini.

Dia mengatakan aksi 4 November tidak lepas dari ruang komunikasi politik antara pemerintah dengan organisasi kemasyarakatan (ormas) yang belum berjalan maksimal. Dalam dua tahun masa pemerintahannya, Jokowi memang telah berhasil melakukan konsolidasi politik menata susunan kabinet dan dukungan politik di parlemen. Namun, kata dia, kran komunikasi politik antara pemerintah dengan berbagai ormas masih terkesan terabaikan.

"Padahal, kekuatan politik real ada di masyarakat yang diwakili oleh kekuatan Ormas, baik yang berbasis ideologis, keagamaan, profesi dan sebagainya," ujarnya. Karena itu, komunikasi politik antara pemerintah dengan masyarakat sipil sama sekali tidak boleh dianggap remeh. Bukti sejarah menunjukkan peristiwa 1998 lalu lebih dimotori oleh kekuatan sipil daripada kekuasaan partai dan kabinet.

Emrus menyebut bila terjalin komunikasi politik yang produktif antara pemerintah dengan ormas, maka sangat banyak yang bisa dilakukan bersama dalam membangun karakter kebangsaan. Misalnya, kerja sama dalam bidang kesehatan, pendidikan dan program deradikalisasi di ruang publik. Jadi, kata dia, pemerintah tidak boleh hanya memprioritaskan pembangunan fisik seperti infrastruktur, tetapi yang tidak kalah pentingnya membangun karakter rasa kebangsaan bagi segenap warga negara Indonesia.

Selain itu, pemerintahan Jokowi dinilai perlu membentuk membentuk suatu Badan Komunikasi dan Dialog Kebangsaan (BKDK). Badan ini berfungsi melakukan deteksi dini permasalahan kebangsaan, membangun, membuka saluran komunikasi dan dialog dengan berbagai pihak terkait.

Badan ini juga bertugas mengkonsolidasikan kekuatan ormas dalam rangka menjaga kelestarian NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan keberagaman. Bila hal tersebut tercapai, maka ia menilai akan lebih mudah melakukan pembangunan infrastruktur. Emrus mengatakan pembetukan badan tersebut jauh lebih penting daripada Badan Restorasi Lahan Gambut yang sudah dibentuk.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement