REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Muslim di Amerika bingung menanggapi kemenangan Donald Trump untuk posisi presiden AS ke-45. Sejumlah kelompok Muslim menanggapinya dengan positif.
Pemimpin Koalisi Muslim Republik, Saba Ahmed mengatakan pada Aljazirah, Kamis (10/11), bahwa ia sangat bersemangat menyambut Trump. "Koalisi Muslim Republik tidak sabar bekerja dengan Presiden Trump," kata dia.
Sementara, sejumlah Muslim lainnya menunjukkan ketakukan dan kekhawatiran. Terutama karena rencananya ingin melarang Muslim masuk AS. Ahmet berpendapat bahwa Muslim harus melupakannya.
Menurutnya, Muslim AS harus lebih proaktif dan punya strategi untuk berangkulan dengan Republik. Sementara, Ketua Council of American Islamic Relations (CAIR) cabang Kansas, Moussa ElBayoumi mengatakan, Muslim tidak bisa mengesampingkan isi kampanye Trump.
Bagaimanapun, Trump bisa menang salah satunya karena sentimen anti-Muslim dan antiimigran. Elbayoumi meminta agar Trump menghormati konstitusi AS dan nilai-nilai yang dibangun di negeri liberal tersebut.
Presiden harus mengesampingkan masalah rasial, agama, juga latar belakang nasional. Jika presiden baru gagal untuk menjalankannya, Elbayoumi mengatakan, CAIR akan teguh membela kebebasan sipil warga AS, termasuk Muslim.
Profesor Basil al-Qudwa yang mengajar ekonomi di Al Huda University di Houston, Texas malah tidak merasa Trump mengancam Muslim. Ia tidak melihat ada tanda-tanda ancaman dari administrasi Trump melawan Muslim atau Arab Amerika.
Ia menilai, jumlah Muslim AS cukup kecil dan secara statistif tidak signifikan. Ia juga berpendapat, kemenangan Trump bukan anomali karena stagnasi ekonomi AS di dekade di masa lalu. Menurutnya, itulah penyebab ia lahir. "Sekali kau mengalami krisis ekonomi di masyarakat, nasionalisme akan membawa pada lahirnya pemimpin populis, seperti Trump," kata dia.