REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani mengatakan, setiap hotel yang memutar lagu diwajibkan membayar royalti kepada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
PHRI Pusat, ia tegaskan, telah menekan nota kesepamahan (MoU) dengan LMKN terkait besaran tarif yang wajib dipenuhi setiap perusahaan perhotelan. "Sudah kami kirimkan MoU dan tarif royaltinya. Harusnya semua daerah sudah tahu," katanya di Lombok Plaza, Mataram, Jumat (18/11).
Untuk hotel nonbintang dengan kapasitas 61 kamar ke atas ditetapkan royalti sebesar Rp 1 juta per tahun. Sedangkan, 60 kamar ke bawah tidak diwajibkan membayar. Sedangkan untuk hotel berbintang, ada lima kategori, antara lain, hotel dengan jumlah kamar di bawah 50 diberikan royalti sebesar Rp 2 juta, 51 hingga 100 kamar sebesar Rp 4 juta, 101 sampai 150 kamar sebesar Rp, 151 hingga 200 kamar sebesar Rp 8 juta. Sedangkan, untuk hotel dengan jumlah kamar 201 ke atas ditetapkan royalti sebesar Rp 12 juta per tahun.
Ia menerangkan, adanya ketetapan ini guna melindungi dan menghargai hak cipta. Hal itu juga membenahi persoalan yang selama ini terjadi dengan tidak adanya kepastian soal royalti. Sebelumnya, masing-masing pihak menarik sendiri-sendiri royaltinya, semisal musik dangdut, pop, dan lain-lain.
Dengan adanya nota kesepamahan ini akan memudahkan industri hotel dan pemerintah dalam melakukan penarikan royalti lewat satu pintu melalui LMKN. "Sebelumnya nggak jelas dipungutnya berapa makamya berantem terus, adanya kesepakatan itu pihak hotel tidak keberatan," ungkapnya.
Berdasarkan kesepakatan, penarikan royalti efektif berlaku pada tahun ini, meski awalnya LMKN meminta agar dilakukan sejak 2015 lalu. Ia meminta para pengusaha perhotelan untuk mematuhi aturan ini. Jika tidak sepakat, pengusaha hotel bisa menyampaikan ketidaksepakatan dengan tidak memutar lagu.
"Kalau hotel tidak mau muter lagu ya boleh, dia bikin deklarasi. Tapi kalau ketahuan LMKN dia kena penalti, bayar dua kali lipat," katanya.