REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asep Sapa'at
Momen Hari Guru Nasional 2016 telah berlalu. Gebyar perayaannya telah berakhir. Tetapi, ada hal paling urgen di setiap momen Hari Guru. Apakah itu? Muhasabah (perhitungan dan introspeksi diri). Erie Sudewo menyatakan, muhasabah itu berbeda dengan agenda rutin.
Apakah Hari Guru Nasional kita pandang sebagai agenda rutinitas tahunan atau momentum muhasabah? Muhasabah itu 10 bagian. Sembilan bagian gunakan kesadaran, satu bagian gunakan kebiasaan. Rutin juga terdiri dari 10 bagian. Bedanya, sembilan bagian gunakan kebiasaan dan satu bagian gunakan kesadaran.
Dalam muhasabah, banyak hal bermanfaat. Dalam rutinitas, sedikit hal bermanfaat. Hari Guru Nasional adalah momentum terbaik untuk melakukan muhasabah diri. Karena pada hakikatnya di setiap peringatan Hari Guru Nasional, kehidupan dunia semakin menjauh dan kehidupan akhirat semakin mendekat.
Jatah usia hidup guru terus berkurang dan masa kematian pun kelak akan datang menjemput. Firman Allah SWT, “Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat) dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Hasyr [59]: 18).
Umar bin Khattab mengemukakan, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab dan berhiaslah (bersiaplah) kalian untuk akhirat (yaumul hisab). Dan bahwasanya hisab itu akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab (evaluasi) dirinya di dunia.”
Bagi guru yang sering bermuhasabah terhadap dirinya, maka hisabnya akan menjadi ringan di akhirat dan tempat kembalinya akan menjadi baik. Sedangkan, guru yang meremehkan muhasabah terhadap dirinya, maka dia akan mengalami kerugian.
Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan bergerak telapak kaki Ibnu Adam pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang lima perkara: umurnya untuk apa dihabiskannya, masa mudanya untuk apa dipergunakannya, hartanya dari mana diperolehnya dan dibelanjakan untuk apa, dan ilmunya sejauh mana pengamalannya.” (HR Imam Turmudzi).
Guru yang gemar bermuhasabah merupakan ciri pribadi yang bertakwa. Dengan bermuhasabah, guru akan mengetahui dan menyadari kekurangan diri dan perbuatan maksiat yang telah diperbuatnya. Maka, ia segera beristighfar dan bertobat. Dengan bermuhasabah, guru meyakini segala perbuatan di dunia, baik amal baik maupun buruk, semuanya akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat (QS az-Zalzalah [99]: 8 - 9).
Dengan bermuhasabah, guru semakin bisa mengendalikan hawa nafsu dalam setiap ikhtiar mengajar dan mendidik anak-anak. Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan, orang yang lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah SWT.” (HR Imam Turmudzi).
Muhasabah adalah puncak kesadaran tertinggi seorang guru untuk terus memperbaiki diri dan gemar melakukan kebajikan dalam hidup. Ketika Rasulullah SAW membagi manusia dalam tiga golongan, yaitu golongan beruntung (jika hari ini lebih baik dari hari kemarin), golongan merugi (jika hari ini sama dengan hari kemarin), dan golongan celaka (jika hari ini lebih buruk dari hari kemarin), di manakah posisi guru saat ini? Bermuhasabahlah. Wallahu a'lam bishawab.