REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar pendidikan, Arief Rachman mengaku tidak terkejut apabila Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) kembali menimbang usulan moratorium ujian nasional (UN).
"Saya tak terkejut kalau JK bertahan (menolak moratorium UN). Dan kita dalam posisi, keadaan rakyat biasa," kata dia di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (7/12).
Menurut praktisi pendidikan itu, apabila UN merupakan standar mutlak kelulusan, maka ada batasan dalam uji kompetensi.. Sehingga, hasilnya hanya lulus atau tidak lulus bagi peserta didik. Menurutnya, sebaiknya UN hanya berfungsi sebagai pemetaan, tidak boleh berdampak pada lulus atau tidak lulus.
Ia menyebut, apabila JK beralasan ingin suatu standar kelulusan, maka UN bukan menjadi pilihan. Sebab, hal tersebut akan membuat kriteria kelulusan selalu meningkat. Dengan keinginan pemerintah seperti itu, Arief mempertanyakan, apakah selama ini pemerintah sudah memberikan fasilitas pendidikan yang layak di seluruh Indonesia.
Ia meyakini, apabila UN hanya tentang lulus dan tidak lulus, maka akan banyak ketidak jujuran, baik di sekolah maupun dinas pendidikan setempat. Sebab, mereka akan berupaya menjaga peringkat dari hasil UN tersebut.
"Yang merasa diperlalukan tak adil anak-anak. Kalau tak adil, akan ada ketidakjujuran," ujar dia.
Arief meyakini, pelaksanaan ujian sekolah berstandar nasional (USBN) sebagai pengganti UN, tidak akan butuh persiapan panjang. Ia memperkirakan, apabila pemerintah menyetujui, maka pada Desember keluar regulasinya.
Pada Januari, mulai persiapan USBN. Pada Februari mulai penyusunan soal, pelatihan guru, penilaian. Pada April pelaksanaan USBN. "UN yang dulu salah, karena dia dipakai untuk kelulusan. Kalau Pak JK inginkan mutu naik melalui UN, boleh saja. Tetapi itu tak adil, akhirnya kepala sekolah hanya mendongkrak nilai. Saya jadi kepala sekolah 30 tahun, jadi saya tahu," tutur Arief.