REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR – Pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional yang mengajarkan Islam di Indonesia. Menurut KH Salahuddin Wahid (Gus Solah), perkembangan pesantren terbukti tangguh melalui arus zaman bahkan sejak era penjajahan Belanda di Indonesia sampai saat ini.
“Menurut saya, organisasi lintas zaman yang masih ada itu pesantren. Pesantren menunjukkan daya tahan yang luar biasa, ratusan tahun. Dan tidak banyak yang bisa menandingi pesantren dalam soal ini. Yang juga diakui para ilmuwan Barat, peran pesantren dalam membantu melawan kolonial Belanda (di Indonesia),” kata KH Salahuddin Wahid dalam uraiannya di Halaqah Ulama se-ASEAN, di Hotel Salak, Bogor, Rabu (14/12).
Pada zaman Orde Lama, pesantren cenderung dipandang sebelah mata. Gus Solah mencontohkan, pidato Bung Karno ketika menerima gelar doktor kehormatan dari IAIN Ciputat pada 1964. Saat itu, Bung Karno mengkritik pesantren dengan menyebutnya sebagai gudang besar yang tidak punya pintu dan jendela sehingga terasa apek.
Namun, tidak berarti bahwa pesantren minim perhatian dari pemerintahan Sukarno. Pada 1951, Pendidikan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) berdiri. Lembaga ini kemudian menjadi IAIN, yang belakangan marak menjadi UIN. Itu semua menjadi jalur peningkatan taraf keilmuan bagi para lulusan pesantren.
Di era Orde Baru, menurut Gus Sholah, perkembangan pesantren mendapatkan dorongan dari pemerintah. Melalui SKB Tiga Menteri pada 1975, madrasah diarahkan sebagai saluran bagi sistem pendidikan pesantren agar bergerak dari pinggiran menuju sentra. Tujuannya agar pesantren tidak melulu mengajarkan ilmu agama, melainkan juga ilmu-ilmu yang bersifat praktikal atau duniawi.
Dalam catatan Gus Solah, hingga akhir dasawarsa 1970-an ada sekitar lima ribu pesantren di Indonesia. Kemudian, pada 1999 angka itu melonjak menjadi hampir 10 ribu unit pesantren. Kini, lanjut dia, ada sekitar 29 ribu pesantren di seluruh Tanah Air.
Namun, peningkatan jumlah ini ternyata memunculkan fakta adanya ketimpangan. Sebab, kebanyakan pesantren masih berkonsentrasi di Pulau Jawa. “Tetapi, saya pikir yang paling besar itu yang kecil-kecil. Enam puluh persen itu santrinya 50 sampai 200 orang. Yang jadi masalah, di Jawa 80 persen. Di luar Jawa, 20 persen. Padahal, penduduknya kan Jawa 60 persen. Jadi, luar Jawa defisit jumlah pesantren 20 persen. Kalau kita bulatkan, itu jadi kekurangan enam ribu pesantren,” jelas dia.
Imbas dari ketimpangan ini bisa ditemukan di lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islami. Gus Solah mengungkapkan, suatu ketika ia berkunjung ke IAIN Ambon. Saat itu, rektor kampus tersebut menjelaskan, sebanyak 80 persen mahasiswanya masih belum lancar membaca Alquran.
Karena itu, ia mengajak para peserta Halaqah untuk ikut membantu. Pondok Pesantren Tebuireng, yang diasuh Gus Solah, telah bekerja sama dengan melibatkan para alumni untuk mendirikan pesantren-pesantren kecil di pelosok Indonesia. Kapasitasnya menampung tidak lebih dari 200 santri. Namun, ujar Gus Solah, Tebuireng tidak lantas merasa memiliki pesantren-pesantren itu. Ia hanya memberi dukungan, baik dari segi peningkatan kualitas tenaga pendidik maupun jaringan.