REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menyebutkan transmisi dari relaksasi kebijakan makro prudensial masih belum optimal. Kondisi ini membuat pertumbuhan kredit per akhir 2016 masih dalam rentang proyeksi 7,0-9,0 persen.
Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, relaksasi makro prudensial yang telah dilakukan sebanyak dua kali yakni kenaikan Loan to Value (LTV) pada tahun lalu, serta penurunan nilai uang muka (down payment) untuk kendaraan bermotor serta kredit pemilikan rumah (KPR), belum ditransmisikan secara optimal.
"Relaksasi makro prudensial ini belum semua ditransmisikan untuk mendorong pertumbuhan kredit. Per Oktober 2016 pertumbuhan kredit masih tumbuh sekitar 7,50 persen," ujar Perry di Gedung BI, Jakarta, Jumat (16/12).
Perry menegaskan, belum optimalnya transmisi kebijakan makro prudential bukan karena likuiditas dan kurangnya relaksasi kebijakan. Menurutnya, permintaan kredit saat ini memang belum tumbuh karena investasi swasta belum tumbuh besar.
"Karena memang pemanfaatan kapasitas terpasang itu sekarang barangkali 76 persen. Sejumlah perusahaan yang memang sudah melihat ini juga sudah mulai investasi,"kata Perry.
Sementara dari sisi pembiayaan, bukan berasal dari perbankan melainkan obligasi korporasi. Perry menilai ke depannya relaksasi makro prudensial yang dilakukan bank sentral akan dapat mendorong pertumbuhan kredit.
Di sisi lain, masih tingginya rasio kredit macet atau non performing loan (NPL) yang membuat perbankan harus menaikkan biaya pencadangan serta melakukan restrukturisasi kredit. Hal ini yang menyebabkan perbankan belum gencar mendorong penyaluran kredit dan berdampak pada perlambatan ekonomi.
Tercatat pada Oktober 2016 rasio NPL perbankan telah mencapai 3,20 persen (gross) dan 1,50 persen (nett). Menurut Perry, nilai tersebut sudah merupakan puncaknya dan akan mulai menurun pada dua bulan terakhir tahun ini.
"Bank akan semakin siap di paruh kedua tahun depan. Pertumbuhan kredit tahun depan akan lebih tinggi, kita perkirakan 10-12 persen. Lebih tinggi dari tahun ini yang 7-9 persen," ujar Perry.
Dengan kredit yang meningkat dan pembiayaan dari non bank lebih tinggi, ia meyakini akan mendorong pertumbuhan ekonomi pada tahun depan.