REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Indonesia, Arif Susanto mengatakan, perempuan rentan menjadi korban dalam praktik politik dinasti. Beberapa perempuan yang menduduki jabatan di daerah memiliki kecenderungan terpilih karena latar belakang patriarki.
"Sebagian perempuan yang terpilih menjadi kepala daerah berlatar belakang politik dinasti. Yang disayangkan adalah ada kecenderungan keterpilihan mereka karena latar belakang patriarki," ujar Arif dalam diskusi di Jakarta Pusat, Selasa (3/12).
Latar belakang patriarki yang dimaksud terjadi pada perempuan yang merupakan anak atau kerabat dekat kepala daerah laki-laki. Arif mencontohkan, Bupati Klaten, Sri Hartini yang merupakan istri dari Bupati Klaten periode sebelumnya.
Contoh lain terjadi di Kabupaten Kediri dan Kabupaten Bantul. Dari beberapa contoh tersebut, Arif menilai potensi perempuan sebagai sumber meraih keuntungan sangat besar.
"Menilik kasus suap Bupati Klaten, memang ada kecenderungan perempuan menjadi ladang uang untuk suaminya. Ini juga terjadi jika suami seorang pengusaha lalu istri dipaksa masuk ke dalam kancah politik sehingga bisa menjadi kepala daerah," jelas Arif.
Karena itu, pihaknya menyarankan adanya representasi keterwakilan perempuan dalam pemerintahan harus dievaluasi. Perempuan calon kepala daerah, kata dia, harus benar-benar memiliki kualitas sebagai pemimpin.
Arif menyarankan, agenda gender equality dalam pemerintahan semestinya tidak lagi fokus pada jumlah keterwakilan perempuan saja. "Jika kualitas pemimpin perempuan tidak diperbaiki, tragedi Bupati Klaten, Sri Hartini, dikhawatirkan akan berlanjut," tambahnya.