Senin 09 Jan 2017 08:00 WIB

KPI Apresiasi Ide Televisi Umat

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Agung Sasongko
Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terpilih saat menghadiri Rapat Paripurna ke-33 Masa Persidangan V tahun 2015-2016 di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (20/7). (Republika/ Rakhmawaty La'lang)
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terpilih saat menghadiri Rapat Paripurna ke-33 Masa Persidangan V tahun 2015-2016 di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (20/7). (Republika/ Rakhmawaty La'lang)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Agung Suprio menjelaskan, setiap stasiun televisi memang memiliki perspektif atau framing masing-masing dalam setiap pemberitaan. Selama perspektif tersebut masih sesuai kaidah dan etika jurnalistik yang berlaku, ia berpendapat, tidak ada yang perlu dipermasalahkan.

Dia menjelaskan, pengaturan kegiatan penyiaran di Indonesia diatur lewat Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). P3SPS merupakan pedoman KPI untuk melakukan pemantauan dan penindakan terhadap lembaga penyiaran yang dikategorikan melanggar.

Bentuk pelanggarannya bermacam-macam. Dalam tayangan hiburan,  program terkait menayangkan unsur-unsur kekerasan, perisakan (bullying), pornografi, dan lainnya. "Bila ada tayangan hiburan semacam ini, KPI akan melayangkan teguran kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan," ungkap Agung.

Sanksi serupa  juga diterapkan atau berlaku untuk program pemberitaan. Menurut Agung ada beberapa kriteria pemberitaan yang dapat dikategorikan melanggar. "Kalau pemberitaan, ini lebih kepada kode etik jurnalistik. Misalnya berkaitan dengan cover both sides, keberimbangan, proporsional. Kaidah-kaidah ini yang harus terpenuhi," tuturnya.

Sanksi dari KPI tidak hanya berupa teguran, tetapi juga memiliki beberapa tingkatan. Mencakup teguran pertama dan kedua, pengurangan durasi acara, hingga penghentian tayangan sementara. Kendati telah memiliki P3SPS sebagai pedoman, KPI selalu menjalin kerja sama dengan Dewan Pers dalam menentukan apakah suatu pemberitaan televisi dapat dikategorikan melanggar ketentuan hukum atau tidak.

"Karena memang ada keterkaitan antara P3SPS dengan kode etik jurnalistik," ujar Agung menjelaskan.

Agung mengatakan, acara pembentukan televisi umat sebagai gagasan yang sah-sah saja dilakukan. Menurut dia, banyak cara bagi umat ketika hendak mendirikan sebuah televisi. Misalnya dengan membuat konten yang beragam kemudian menyiarkannya di saluran televisi berlangganan. Selain itu, umat juga dapat memanfaatkan media sosial, seperti Youtube.

"Karena Youtube ini kan diakses jutaan orang juga. Jadi jangan hanya terpaku pada media konvensional saja," kata Agung.

Dia berpendapat, televisi umat dapat berperan sebagai penyedia konten khusus umat. Dalam dunia digital seperti sekarang, menyediakan konten berupa tayangan juga perlu melakukan hal-hal kreatif. Misalnya dengan memanfaatkan media sosial seperti Youtube.

Jika nantinya bersinggungan dengan kegiatan penyiaran, televisi umat, ujar Agung menjelaskan, harus tetap berpedoman pada P3SPS. Sebab, P3SPS merupakan acuan hukum yang tak dapat ditawar oleh lembaga penyiaran.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement