REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Energy Watch Indonesia (EWI) mengomentari kebijakan Pertamina menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi pada awal Januari 2017. Direktur EWI Ferdinand Hutahean menilai perusahaan plat merah tersebut sedang berada pada situasi dilematis.
Ferdinand menerangkan, dengan naiknya harga minyak dunia hingga di atas 53 dolar AS per barel, maka langkah yang diambil Pertamina sebuah keniscayaan. Hal tersebut menurutnya agar kepentingan bisnis Pertamina tetap dijaga.
Ia berpendapat jika Pertamina mengalami kerugian, akan mengganggu stabilitas operasional perusahaan tersebut. Hal itu berdampak pada penyediaan atau distribusi BBM ke seluruh Indonesia.
"Kita tentu bisa bayangkan situasi nasional jika distribusi BBM terganggu. Akan ada kelangkaan BBM dimana-mana dan itu akan mengakibatkan terganggunya kondusifitas dan keamanan ditengah publik. Itulah resiko-resiko yang harus dihindari oleh management Pertamina," katanya lewat siaran pers, Senin (9/1).
Di sisi lain, Pertamina menurutnya menyadari kenaikan harga BBM akan menambah beban ekonomi masyarakat. Ia menjelaskan pada Desember 2016, tercatat kenaikan MOPS di kisaran 6,5 persen. Artinya kenaikan harga BBM berada sekitar Rp 500 hingga Rp 600.
Namun Pertamina, kata Ferdinand mengambil jalan tengah dengan menaikkan harga di kisaran 4 persen atau sekitar Rp 300. "Dengan kebijakan ini rakyat tentu akan mendapat beban tambahan namun Pertamina juga harus lebih behemat dan mekakukan efisiensi karena kenaikan belum sesuai keekonomian. Artinya masih ada beban yang harus ditanggung oleh Pertamina termasuk beban distribusi untuk membuat kebijakan satu harga BBM seluruh Indonesia bisa berjalan," ujarnya.