REPUBLIKA.CO.ID, BANJUL -- Presiden Gambia, Yahya Jammeh akhirnya memutuskan mundur dari posisinya secara damai, Jumat (20/1). Meski demikian, ia menolak disebut kalah dalam pemilu presiden lalu.
Dalam pengumuman di televisi pemerintah, ia menyampaikan alasannya. "Tidak perlu ada satu tetes pun pertumpahan darah," kata dia, dikutip BBC.
Keputusan ini keluar beberapa jam setelah Jammeh berbicara dengan para mediator dari Afrika Barat. Jammeh tidak menjelaskan inti sari pertemuan dengan Presiden Guinea dan Mauritania tersebut.
"Saya telah memutuskan hari ini dalam keadaan sadar untuk melepaskan jubah kepemimpinan bangsa yang besar ini dengan rasa syukur yang tak terhingga kepada semua penduduk Gambia," kata Jammeh. Ia juga berjanji atas nama Allah, bahwa segala masalah yang dihadapi saat ini akan diselesaikan secara damai.
Beberapa saat sebelum penyampaian di televisi, Presiden Mauritania Mohamed Ould Abdel Aziz mengatakan sebuah kesepakatan juga dibuat. Jammeh juga akan meninggalkan Gambia. Aziz tidak memberi informasi lebih lanjut.
Sebelumnya, Jammeh menolak mundur dari posisi presiden. Ia mendeklarasikan 90 hari kondisi darurat untuk perdamaian, hukum dan perintah.
Menurutnya, ada keanehan dalam proses pemilu. Jammeh mengatakan sejumlah kesalahan oleh komisi pemungutan suara membuat sejumlah pendukungnya berpaling dari tempat pemungutan suara.
Presiden terpilih, Adama Barrow berada di negara tetangga Senegal dan dilantik di Kedutaan Gambia di sana pada Kamis. Jumat adalah tenggat waktu yang diberikan negara tetangga agar Jammeh mundur dari posisinya atau akan ada intervensi militer.