Oleh: Erie Sudewo*
Bakda Subuh, mendung menggayut di atas rumah. Temaram ini tandai jelaganya negeri. Baru masuk tahun ketiga, negeri makin terbenam kisruh. Dulu diam-diam pemimpin negeri jadi lelucon. Kini terang-terang kepala negara jadi tertawaan.
Duuuh. Saya tak terima kepala negeri jadi ejekan. Jangan sepelekan kepala negara jadi tertawaan. Lebih-lebih ditertawai rakyat awam. Ini tanda negeri dalam kondisi nadir. Rakyat bukan tak lagi percaya pada pemerintahan. Ada rasa muak, marah, sekaligus frustrasi.
Rakyat malah terus hidup dalam kesusahan. Namun, di depan mata disuguhi cara pemerintah tangani negeri. Pemerintah tetap saja arogan. Alih-alih temukan solusi, yang tampak terus sandiwara. Alih-alih mengacu pada kebenaran, tradisi kekeliruan terus lestari. Apa itu? “Yang benar disalahkan, yang keliru dibenarkan".
Saya jadi ingat ketika dialog tentang kenegaraan dengan Riwok Ndadari. Shohib yang kritis tapi tetap santun. Dia awali diskusi dengan lakon “Petruk jadi Ratu”. Maqam Petruk tak sampai. Saat jadi Ratu, DNA pemimpin tentu tak ada di Petruk. Yang dilakukan jadi serbamentok.
Saya risih dan tak terima lakon “Petruk jadi Ratu”. Bagaimanapun Donald Trump tetap hebat. Jika tidak, bagaimana dia bisa yakinkan sekian juta warga Amerika. Penduduk yang dianggap terbuka, kritis, dan paling demokratis di seluruh jagad.
Kembali ke negeri kita yang tercinta. Pengamat pendidikan bilang, “Pendidikan kita tak buat siswa jadi baik dan siap kerja”. Yang ekstrem bilang, rakyat terlanjur dibodohi. Untuk sebagian sepakat. Sebab tak semua begitu. Kan ada beragam sekolah kejuruan.
Namun, saat AFTA berlaku, rakyat dibiarkan hadapi sendiri. Kita sekadar mengimbau rakyat persiapkan diri. Sedang Negeri Jiran sungguh-sungguh siapkan warganya bersaing. Hasilnya mereka leluasa merangsek. Dan kita terpasung di negeri sendiri.
Sungguh amat dilematis negeri ini. Terus saja pembangunan ditaburi slogan demi slogan. Seolah bangun Indonesia cukup dengan slogan. “Memasyarakatkan ini dan itu. Dan meng-ini itu-kan masyarakat”.
Justru yang tak terslogan malah merata hampir ke seluruh pelosok negeri. “Memasyarakatkan korupsi. Dan mengorupsikan masyarakat”. Korupsi yang begitu dahsyat melanda negeri, tetap tak dianggap musuh nomor wahid.
Ada pesan pepatah kenegaraan yang miris: “Negeri kuat, rakyat tergilas roda tank dan sepatu lars. Negeri lemah, rakyat tertindas”.
Negeri kuat, bahayanya terjadi tirani. Penguasa jadi raja. Jika raja bertitah, tak satupun rakyat bisa cegah. Ketika raja tersinggung, rakyat pun jadi korban.
Negeri lemah jadi tanda bahwa negeri dikuasai pengusaha. Mengapa pengusaha berkuasa? Karena terjadi kolaborasi “penguasa dan pengusaha”.
Kolaborasi “penguasa dan pengusaha” hanya tempatkan rakyat jadi dua titik ekstrim. Pertama, rakyat sebagai objek karena terlanjur jadi penduduk negeri. Kedua, rakyat sebagai 'pasar loyal'. Maka hingga anak cucu, rakyat tersandera permanen.
Yang lebih berbahaya lagi jika 'pengusaha jadi penguasa'. Rumus pengusaha sederhana, yakni P = L (P = Pengusaha, L = Laba). Saat jadi penguasa, rumusnya P + P = 2L (Pengusaha + Penguasa = 2 Laba).
Yang lebih amburadul, mendadak 'penguasa jadi pengusaha'. Rumus tak beda dengan di atas. Namun, kerusakan yang ditimbulkan jauh lebih parah dan berbahaya. Negeri benar-benar bisa tenggelam.
Astaghfirullah. Negeri 'gemah ripah repeh rapih loh jinawi' tak boleh berakhir sebagai dongeng. Apa yang sudah kita siapkan bantu negeri yang makin sempoyongan ini? Sekecil apa pun saatnya singsingkan lengan baju. Bismillah!
*Erie Sudewo, Pendiri Dompet Duafa.