Ahad 05 Feb 2017 12:14 WIB

Subsidi Listrik Dicabut, Berharap Siti Pun Terterangi

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Agus Yulianto
Petugas PLN memeriksa tegangan listrik di rumah pelanggan R1 900 VA. (ilustrasi)
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Petugas PLN memeriksa tegangan listrik di rumah pelanggan R1 900 VA. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Siswa kelas 2 SMP di salah satu sekolah di  Kabupaten Bandung Barat (KBB) itu, biasa dipanggil Neng Siti (13 tahun). Ia, anak yang shaleh, pintar, dan punya semangat tinggi untuk belajar. Namun, biasanya Neng Siti lebih sering belajar di siang hari. Karena, rumah gubuknya hingga saat ini tak ada listrik. Agar rumahnya tak terlalu gelap, Neng Siti yang hanya tinggal dengan ibunya yang seorang pembantu rumah tangga, biasanya meminta listrik atau istilahnya nyolok pada saudara yang tinggal tak jauh dari rumahnya.

"Karena cuma nyolok, paling cuma bisa nyalain lampu 20 watt," ujar Neng Siti kepada Republika.

Menurut Neng Siti, di rumahnya sebenarnya ada TV, tapi Ia tak bisa menyalakan karena tak ada aliran listrik. Walaupun tak bisa menonton TV, Neng Siti tapi tak berkecil hati. Karena, bagi dirinya yang penting adalah bisa belajar juga di malam hari dengan penerangan yang cukup.

"Kalau malam bisa belajar, saya berharap bisa terus melanjutkan sekolah walau ga ada biaya‬," kata siswa penerima beasiswa miskin yang sekarang bernama Program Indonesia Pintar (PIP).

Di sisi lain, jauh dari cerita Neng Siti yang berharap malamnya menjadi terang, pemerintah mulai 1 Januari 2017, mulai mencabut subsidi konsumen listrik 900 VA. Tercatat, dari 22 juta konsumen 900 V, saat ini, hanya ada 4 juta yang menerima subsidi. Ini dilakukan, karena nilai subsidi listrik yang terus membengkak. Bahkan, kalau dibiarkan nilainya bisa mencapai puluhan triliun.

Menurut Manajer Niaga PLN Distribusi Jawa Barat  Marjon Sinaga, pencabutan subsidi listrik pelanggan 900 VA dilakukan agar subsidi listrik bisa tepat sasaran hanya untuk masyarakat miskin. Sehingga, anggaran yang membengkak bisa dikembalikan ke kas negara untuk membiayai pendidikan, kesehatan termasuk meningkatkan elektrifikasi listrik.

"Khusus di Jabar, ada 3,8 juta pelanggan 900 VA yang dicabut subsidi listriknya," katanya.

Marjon mengatakan, saat ini pelanggan listrik di Jabar memang cukup banyak dibandingkan daerah lain. Karena, sekitar 22 persen pelanggan nasional, ada di Jabar. Sehingga, penghematan subsidi yang dilakukan pun akan berpengaruh cukup signifikan. Yakni, penghematan subsidinya bisa mencapai Rp 400 miliar per bulan

"Sedangkan penghematan secara nasional dari pencabutan subsidi ini, diperkirakan mencapai Rp 22 triliun," katanya.

Untuk menyosialisasikan pencabutan subsidi ini, Marjon telah menyebarkan brosur dan pamflet hingga ke desa-desa. Di seluruh kabupaten di Jabar pun, sudah disosialisasikan seperti apa cara pengajuan pelanggan kalau mereka merasa layak dapat subsidi, tapi subsidinya ditarik.

"Kami buka Posko pengaduan yang dekat dengan masyarakat, di semua kantor lurah dan desa," katanya.

Namun, kata dia, hingga saat ini belum ada masyarakat yang mengadu. Marjon berharap, setelah subsidi ini dicabut pelayanan PLN pun akan semakin bagus. Yakni, tak ada gangguan listrik, tak terjadi pemadaman atau zero padam.

Selain itu, kata dia, uang penghematan subsidi pun diharapkan bisa digunakan untuk membangun infrastruktur agar tingkat elektrifikasi di Jabar semakin meningkat. Saat ini, elektrifikasi di Jabar baru tercapai 96 persen. Targetnya, di 2018 akan 100 persen.

"Tahun ini, targetnya kami memasang listrik di 1.500 dusun di Jabar Selatan. Di antaranya di Cianjur, Tasikmalaya, Garut, dan Sukabumi," katanya.

Sementara Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, sebagai kepala daerah, ia mendukung kebijakan mencabut subsidi untuk masyarakat mampu 900 VA. Karena, keadilan itu harus didukung kalau ternyata dirasakan subsidi tersebut diambil manfaatnya oleh menengah atas.

"Saya kira keliru kalau yang menikmati subsidi menengah atas. Kan seharusnya yang disubsidi menengah bawah kebutuhannya listriknya di bawah 900 VA," ujar pria yang akrab disapa Emil.

Salah seorang pelanggan listrik 900 VA warga Jalan Cinta Asih-Kota Bandung Vinni Nuryasari mengaku, awalnya kaget melihat tarif listrik bulan Januari tak seperti biasanya. Setiap bulan, biasanya ia harus membayar listrik Rp 85 ribu. Paling mahal, Rp 100 ribu. "Bulan Januari ini, saya harus bayar Rp 120 ribu. Oh ternyata emang ada kenaikan ya?" katanya.

Vinni tak mempermasalahkan subsidi listriknya dicabut dan ada kenaikan. Asalkan, listrik di rumahnya tak sering ada pemadaman. Selain itu, pendataan masyarakat miskin yang harus menerima subsidi listrik harus benar-benar dilakukan. Ia pun berharap, uang penghematan listrik bisa benar-benar dimanfaatkan untuk masyarakat miskin.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement