REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - - PT PLN (Persero) diharuskan melakukan efisiensi dalam operasional guna menjaga kestabilan harga listrik. Kepala Satuan Komunikasi Korporat PLN, I Made Suprateka menilai hal tersebut menjadi tantangan bagi pihaknya.
"Tantangan bagaimana kami melakukan efisiensi ke dalam," kata Made saat dihubungi wartawan, di Jakarta, pada Rabu (5/7).
Ia menerangkan ada beberapa hal yang dilakukan PLN untuk berefisiensi. Pertama, kata Made, perusahaan plat merah tersebut mengurangi penggunaan energi dengan biaya produksi yang mahal. "Tentu dengan konversi. Katakanlah yang termahal adalah menggunakan energi fosil atau solar, itu diganti dengan gas," ujarnya.
Meski demikian, dalam implementasi banyak tantangan yang terjadi. Ia mencontohkan di daerah terpencil tidak bisa serta merta ada konversi BBM ke BBG. "Di daerah remote ga bisa diganti begitu saja karena mereka masih pake diesel," tutur Made.
Ia melanjutkan tak hanya harga pokok yang tinggi, daerah demikian menjadi tempat bagi PLN memberikan subsidi korporasi. Di tempat-tempat terpencil tersebut, harga pokok listrik lebih tinggi dibandingkan pendapatan.
"Misalnya di Pulau Medang NTB, di situ biaya operasional tiap bulan Rp 12 juta, tapi revenue dari listrik cuma Rp 8 juta," ujar Made.
Ia menerangkan di Indonesia yang memakai sistem harga tunggal, daerah seperti itu masih banyak. Made melanjutkan efisiensi juga dilakukan dalam berproduksi.
PLN membangun beberapa pembangkit di Sumatra Utara, Sumatra Selatan, dan Riau. Dari pembangkit-pembangkit tersebut, PLN menarik jaringan transmisi untuk kebutuhan listrik seluruh Sumatera.
Saat ini seluruh pulau Andalas, kata dia, kelebihan neraca daya lebih dari 30 persen. "Itu yang kita suplai melalui jaringan transmisi dan gardu, ga usah bangun pembangkit (di seluruh Sumatra). Ini kan tidak mengeluarkan biaya operasional dalam bentuk bahan baku," tutur Made.
Ia meneruskan efisiensi lainnya lebih ekonomis dalam menggunakan pembangkit listrik. Ia mencontohkan saat periode Ramadhan hingga lebaran beban puncak di Jawa, turun antara 6.000 hingga 8.000 megawatt (MW).
"Biasanya 24 ribu MW, bisa jadi 16 Ribu-18 Ribu MW. Jadi kami bisa memilih mana pembangkit-pembangkit yang lebih ekonomis untuk melayani kebutuhan tersebut. Jadi yang berbahan bakar mahal, kami matiin dulu," ujar Made.