REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak Atas Pengasuhan Keluarga dan Lingkungan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Rohika Kurniadi Sari meminta semua pihak bersama menekan angka perkawinan usia muda. Alasannya, isu perkawinan usia anak masih memprihatinkan.
"Indeks pembangunan manusianya rendah. Masalah perkawinan anak yang sangat memprihatinkan," kata dia dalam lokarya 'Bedah Kesimpulan Pengamatan Komite Hak Anak PBB terhadap Laporan Indonesia Periodik III dan IV' di Jakarta, Selasa (7/2).
Ia menegaskan, perkawinan anak merupakan bentuk pelanggaran pemenuhan hak dan perlindungan anak. Sebab, ia menyebut, pemerintah telah meratifikasi perlindungan anak, sehingga harus ada kosepnya bagaimana menjamin dan melindungi anak.
Rohika menyebut, perkawinan usia anak menghambat tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) yang telah dicanangkan pemerintah. Sehingga, ia meyakini, SDGs tak akan berhasil apabila perkawinan usia anak tetap dibiarkan.
Rohika mengatakan dalam RPJMN, pemerintah telah berupaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat salah satunya dengan Program Indonesia Pintar (PIP) yang mewajibkan belajar 12 tahun pada anak. Selain itu, pemerintah juga memprogramkan Indonesia Sehat untuk meningkatkan perilaku masyarakat.
Selain itu, ia berujar, pemerintah melakukan sejumlah strategi sederhana untuk menekan perkawinan usia anak, seperti melalui anak, keluarga, sekolah, masyarakat dan wilayah. "Kita dorong pemda menyusun perda wajib belajar 12 tahun. Melibatkan anak dan forum sebagai pelopor dan pelapor," jelasnya.
Menurutnya, banyak yang tidak tahu peran yang sangat penting dalam mencegah perkawinan usia anak. Ia mencontohkan, ayah dan saudara laki-laki dapat mengampanyekan dampak perkawinan usia anak. Pemahaman juga dapat dilakukan oleh para ulama dan khatib ihwal bahayanya perkawinan usia anak.