REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Majelis Ulama Indonesia (MUI) memiliki pandangan terhadap serangkaian aksi bela Islam (ABI) yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir. Seperti diketahui, ABI pada umumnya berpusat di masjid. Bahkan, aksi massa didahului shalat subuh berjamaah.
Menurut Sekretaris Jenderal MUI, Buya Anwar Abbas, sudah seharusnya masjid menjadi pusat aktivitas umat Islam. Ia membandingkan, pada zaman Rasulullah SAW, masjid merupakan tempat perumusan kebijakan-kebijakan politik, ekonomi, dan sosial-budaya.
“Jadi, umat Islam pergi ke masjid-masjid tak hanya untuk shalat, tetapi juga mendapatkan pencerahan-pencerahan. Makanya, di zaman Nabi SAW, masjid adalah pusat segala-galanya. Bagaimana mengatur negara, kehidupan ekonomi, budaya. Kini (dalam era modern), negara bukan diatur dari masjid, tapi dari istana,” kata Buya Anwar Abbas saat dihubungi, Ahad (12/2).
Tokoh Muhammadiyah ini melihat, belakangan ini ada keinginan publik membudayakan shalat subuh berjamaah di masjid-masjid. Menurut Buya Anwar, hal ini sebaiknya ditingkatkan bukan lantaran adanya pergerakan aksi, melainkan lebih sebagai melaksanakan perintah agama.
“Perintah agama Islam itu, shalat lima waktu sebaiknya berjamaah di masjid. Jadi, semestinya juga, warga bangsa ini jangan curiga dengan shalat subuh berjamaah. Ya memang begitu perintahnya agama kita.”
Di sisi lain, ia melihat semangat subuh berjamaah itu belum merata. Buya Anwar menyebut beberapa masjid besar di Ibukota hanya memiliki jamaah yang bisa dihitung dengan jari. Ia berharap, gerakan subuh berjamaah tersebar merata ke seluruh Indonesia sehingga masjid dapat kembali difungsikan demi kemaslahatan umat Islam sendiri dan bangsa Indonesia pada umumnya.
Dalam hal dakwah di masjid-masjid, Buya Anwar mendorong hal itu sebagai ajang menyampaikan kebenaran. “Dan kebenaran menurut ajaran Islam ini tak perlu ditakuti siapapun. Karena, ajaran Islam itu sendiri pasti akan menimbulkan rahmatan lil ‘alamin,” jelas dia.
Menurut tokoh asal Sumatra Barat ini, sedikitnya ada tiga macam cara penyampaian ajaran Islam, yakni substantif, formalisme, dan campuran keduanya. Cara substantif berarti memperjuangkan Islam tanpa perlu menyertakan simbol-simbol keagamaan.
Buya mencontohkan Bung Hatta. Sosok proklamator itu diketahui pernah menyatakan, sekalipun ajaran Islam disebarkan tanpa simbol-simbol agama, maka kaum ateis sekalipun akan menerimanya. Sebab, banyak tema universal yang menjadi cita-cita Islam, seperti keadilan.
Cara formalis berarti memperjuangkan Islam dengan tetap mengusung simbol-simbol keagamaan. Dalam hal ini, menurut Buya Anwar, tidak jarang substansi ajaran Islam justru tak tampak karena lebih condong ke penampilan. Cara yang ketiga merupakan perpaduan antara kecenderungan substantif dan formalis. Dari ketiga metode tersebut, Buya menilai sama baiknya, asalkan tetap menjaga maruah keislaman.