Oleh : Muhammad Hafil, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Dalam sebuah tabligh akbar beberapa belas tahun lalu, penulis pernah mendengar seorang dai yang menceritakan kisah dialog antara tentara Mesir dan tentara Israel saat Perang Israel-Mesir di tahun 70-an dulu. Dalam dialognya, tentara Mesir berkata kepada tentara Israel yang paham bahasa Arab tersebut.
"Kami akan mengalahkan kalian," kata tentara Mesir.
"Tidak akan, sebelum kalian bisa melaksanakan sholat subuh yang jumlah jamaahnya seperti sholat Jumat," jawab sang tentara Israel.
Kisah ini penulis kembali temukan dalam sebuah buku yang dibaca beberapa tahun lalu. Adapun kisahnya sama seperti kisah penceramah di atas.
Lengkapnya, salah seorang tentara Israel yang ditawan pasukan Mesir menegaskan kepada tentara Israel.
“Demi Allah, kami akan memerangi dan mengalahkan kalian sampai ada di antara kalian yang bersembunyi di balik pohon dan batu, kemudian pohon dan batu itu mengatakan, ‘Hai hamba Allah, Hai Muslim, ini ada Yahudi di belakangku, kemari dan bunuhlah dia’,” ungkap tentara Islam tersebut mengutip hadits shahih. Hadits yang juga dipahami sekaligus jadi kekhawatiran pasukan Israel.
Tentara Israel itu menjawab, “Semua itu tidak akan terjadi sebelum Sholat Subuh kalian sama dengan Sholat Jumat.”
Kisah di atas, terlepas apakah kisah nyata atau sekadar kisah motivasi, tetapi memberikan gambaran tentang sholat berjamaah. Seperti kita tahu, jarang sekali terjadi di masjid-masjid sekitar rumah kita, yang jamaahnya ramai seperti sholat Jumat.
Artinya, semua laki-laki Muslim pergi melaksanakan sholat subuh berjamaah di masjid. Kalaupun ada, terjadi di momen-momen tertentu seperti adanya tabligh akbar yang menghadirkan dai kondang atau ketika momen itikaf Ramadhan.
Ini menjadi gambaran bagaimana umat Islam tak ramai yang melaksanakan sholat wajib secara berjamaah di masjid dan di awal waktu.
Salah satunya adalah survei yang dilakukan oleh Dewan Masjid Indonesia pada 2018 lalu. Di mana hsilnya, sebanyak 66,4 persen pemuda Muslim tidak datang beribadah ke masjid setiap hari. Sementara sisanya, 33,6 persen mengatakan selalu datang beribadah di masjid setiap hari. Ini diketahui berdasarkan survei Departemen Kaderisasi Pemuda PP Dewan Masjid Indonesia (DMI) bekerjasama dengan Merial Institute.
Survei tersebut dilakukan terhadap generasi muda Muslim. Survei berlangsung pada 17-21 Juli 2018. Jumlah responden sebanyak 888 orang pemuda Islam berusia 16-30 tahun dan berdomisili di 12 kota besar yakni Jakarta, Depok, Bekasi, Tangerang, Bogor, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, Makassar, Medan, dan Palembang.
Hal ini tentu menjadi keprihatinan kita. Karena, sebagaimana kita ketahui, salah satu calon penghuni surga adalah pemuda yang rajin ke masjid.
Kondisi ini menjadi keprihatinan bagi banyak ulama. Salah satunya adalah almarhum Prof KH Mustafa Ali Yaqub, mantan imam masjid Istiqlal dalam sebuah wawancara khusus dengan Republika pada 2014 silam.
Menurut KH Ali Musafa Ya'qub, perlu ada reorientasi ibadah dalam sholat berjamaah. Umat perlu diingatkan apa sebenarnya yang mereka cari ketika menunaikan sholat.
Menurut Kiai Ya'qub, di Indonesia ini orang berlomba-lomba besar-besaran masjid, kemudian berlomba-lomba pula kosong-kosongan masjid. Jadi, itu yang memprihatinkan.
Kiai Ya'qub menilai orang Indonesia tidak menyukai sholat berjamaah. Dia sudah amati di mana-mana. Tidak ada rasa penyesalan kalau orang tidak sholat berjamaah.
Padahal, sebenarnya sholat berjamaah dengan sholat sendirian itu kan pekerjaannya sama. Misalkan, sholat Zhuhur atau Isya itu kan sama-sama empat rakaat, baik sendiri-sendiri ataupun berjamaah.
Namun, kalau berjamaah sudah pasti mendapatkan pahala 27. Itu pasti, meskipun jelek sholatnya. Kalau sendirian belum pasti mendapatkan satu. Mengapa belum pasti? Karena yang diterima itu yang baik saja. Kalau yang tidak baik, ya tidak diterima.
Namun, orang Indonesia itu lebih senang sholat sendirian daripada berjamaah, umumnya begitu. Tidak ada rasa penyesalan kalau shalat tidak berjamaah. Padahal, kehilangan 27 dan belum pasti mendapatkan satu, itu mestinya ada rasa penyesalan. Tapi, ternyata tidak ada.
"Kadang, saya bertanya-tanya, sebenarnya siapa yang ngajarin mereka begitu," kata Kiai Yaqub.
Bahkan, Kiai Yaqub pernah menyampaikan hadits kepada orang-orang yang enggan sholat berjamaah. Salah satunya hadits yang diriwayatkan Imam Abu Daud ada salah seorang yang bernama Yazid. Rasulullah kan sedang sholat, tapi Yazid ini duduk saja di pinggir masjid. Setelah itu, dipanggil Rasulullah. "Wahai Yazid, mengapa kamu tidak ikut sholat berjamaah. Bukankah kamu orang Islam?"
Nah, kata-kata ini menunjukkan bahwa perilaku Yazid itu bukan perilaku orang Islam. Kok orang sholat berjamaah dia ngobrol dengan temannya. Yazid mengatakan, "Saya sudah sholat di rumah ya Rasulullah." Tapi, Rasulullah mengatakan, kalau kamu sudah sholat di rumah kemudian ada sholat berjamaah kamu harus ikut sholat berjamaah bersama mereka. Bagimu, itu merupakan sunah."
Dari hal di atas, Kiai Yaqub menilai perlu diberikan penyadaran atas pentingnya sholat berjamaah kepada umat Islam. Yakni, harus merasa rugi kalau tidak berjamaah. Karena dengan sholat berjamaah kita mendapatkan pahala 27 dan itu pasti, tapi kalau sholat sendirian itu satu dan itu belum pasti. Kalau orang yang cerdas, dia pasti berjamaah. Karena, dia pasti memilih yang 27 ketimbang yang satu, kemudian memilih yang sudah pasti ketimbang yang belum pasti.
Selain itu, para ustadz dan para pemimpinnya harus memberikan contoh sholat berjamaah di masjid. Kalau ustaznya malas, bagaimana umatnya bisa sholat ke masjid. Dakwah yang paling efektif itu adalah dengan memberikan contoh, bukan sekadar ngomong.