REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM Dwi Ardianta Kurniawan mengatakan, arah pembangunan tata ruang Kota Yogyakarta mengalami penurunan secara kualitas bahkan makin meninggalkan konsep berkelanjutan. Hal tersebut dapat dilihat dari indikasi penurunan permukaan air tanah, kemacetan lalu lintas, penurunan kualitas udara, dan minimnya ruang terbuka hijau.
“Permukaan air tanah yang turun, kemacetan lalu lintas, dan kualitas udara sudah turun. Indikasi itu cukup kuat dari sisi kualitatif,” kata Dwi pada Dikusi Pengembangan Kota Yogyakarta di kantor Pustral UGM, Senin (27/2).
Meski pertumbuhan ekonomi Kota Yogyakarta mengalami peningkatan, konsep pembangunan berkelanjutan dan pembangunan kulitas hidup manusianya makin menurun. Namun menurutnya, tidak mudah bagi pemerintah kota untuk melaksanakan konsep pembangunan bekelanjutan yang ditopang oleh infrastruktur memadai.
Sementara pemerintah dihadapkan pada tuntutan perubahan pola hidup masyarakat dan dampak sosial yang ditimbulkan dari kebijakan pembangunan berorientasi ekonomi. Dwi mengatakan, Kota Yogyakarta sangat sulit untuk membentuk ruang terbuka hijau (RTH). Ia mencontohkan penduduk yang tinggal di bantaran sungai seharusnya direlokasi karena daerah tersebut masuk dalam kategori ruang terbuka hijau.
Namun untuk melakukan relokasi tanpa menyiapkan lahan pengganti juga bukan perkara gampang. “Perlu penyiapan dan fasilitas, karena jangan sampai mencabut hajat hidup mereka dari lingkungan asalnya. Mungkin ide ini mudah diucapkan tapi susah diterapkan,” ujar Dwi.
Ia mengemukakan, untuk membenahi tata ruang Kota Yogyakarta yang menghadapai berbagai komplesitas, diperlukan kesadaran dari pemimpin dan masyarakat untuk bekerja sama mengatasi tata kota yang lebih baik dan nyaman ditinggali.
Sementara itu, Peneliti Pusat Studi Perencanaan Pembangunan Regional (PSPPR) UGM Pritaningtyas mengatakan, salah satu persoalan yang dihadapi Kota Yogyakarta adalah menurunnya permukaan air tanah.
Penurunan muka air tanah ini disebabkan karena adanya pertambahan lahan pemukiman dan maraknya pembangunan hotel di Yogyakarta. “Pembangunan hotel dengan damapak penurunan muka air tanah terjadi di kawasan Malioboro,” ujarnya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan PSPPR UGM pada 2016, terdapat lebih dari seratus sumber mata air yang berada di sekitar tiga sungai di wilayah Kota Yogyakarta, yakni Code, Winongo, dan Gajahwong. Namun sumber mata air tersebut tidak dirawat dan dipelihara dengan baik oleh pemerintah dan masyarakat.
Bahkan lahan di atas sumber mata air tersebut digunakan penduduk sebagai pemukiman. “Selain tidak dijaga dengan baik, orang bisa bangun rumah di atas sumber mata air itu. Kita sudah sampaikan temuan ini ke Pemkot dan saat ini sudah ada usaha untuk menjaga sumber mata air,” kata Pritaningtyas.