REPUBLIKA.CO.ID, Dua lelaki berwajah asing, tampak duduk bersila di atas trotoar depan Gedung Menara Ravindo di Jalan Kebon Sirih Kavling 75, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (8/3) malam. Mereka asyik berbincang satu sama lain, sambil sesekali melirik kepada para pejalan kaki yang melintas di kawasan itu. Kata-kata yang diucapkan kedua orang itu menunjukkan bahwa mereka adalah penutur bahasa Arab yang fasih.
Tak jauh dari situ, seorang perempuan muda berkerudung terlihat duduk mengemper di trotoar yang sama, sembari menemani dua anaknya menyeruput mie instan yang dikemas dalam gelas styrofoam. Seperti halnya para lelaki tadi, wanita dan bocah-bocah mungil itu juga memiliki paras khas Timur Tengah.
Mereka semua adalah pengungsi dari Irak yang sengaja datang jauh-jauh ke Jakarta sekadar untuk mencari suaka. Para imigran itu terpaksa meninggalkan kampung halaman mereka lantaran sudah tak tahan lagi menghadapi tekanan hidup akibat konflik berkepanjangan yang melanda negeri seribu satu malam.
Sejak runtuhnya rezim Saddam Hussein, situasi keamanan di Irak terus memburuk dari waktu ke waktu, hingga berada di titik yang sangat memprihatinkan. Teror bom yang hampir terjadi setiap hari, seakan-akan telah menjadi pemandangan yang lumrah di negara itu.
“Tujuan kedatangan kami ke Jakarta cuma satu, yaitu ingin menjadi warga negara Indonesia,” kata salah satu pengungsi asal Irak, Yasser Arafat (29 tahun), saat dijumpai di kawasan Kebon Sirih, Rabu (8/3) malam WIB.
Pria itu menceritakan bagaimana kronologi perjalanannya hingga bisa sampai terdampar di Jakarta. Pada 2015, ia mengambil penerbangan dari Baghdad menuju Kuala Lumpur, Malaysia. Setelah transit di negeri jiran selama 15 hari, Yasser lalu masuk ke Indonesia dengan menggunakan penerbangan ke Pekanbaru, Riau.
“Sesampainya di Indonesia, saya menetap dulu di Pekanbaru selama sembilan bulan. Selanjutnya, saya pindah ke Semarang (Jawa Tengah) dan tinggal di kota itu selama enam bulan 18 hari. Pada Mei 2016, saya pindah lagi ke Bekasi dan sejak Februari lalu mulai tinggal di Jakarta,” ungkap Yasser mengisahkan.
Yasser tidak sendirian datang ke Indonesia. Dia juga membawa serta istrinya, Riham (21), bersama dua anak mereka yang masih balita, Yasin (laki-laki, 4) dan Ritaj (perempuan, 3), mengungsi ke negeri ini. Sejak bulan lalu, mereka berempat mulai hidup mengemper di trotoar depan Gedung Menara Ravindo, Kebon Sirih. Di sana, Yasser dan keluarga kecilnya hanya tidur dengan beralaskan tikar seadanya.
Lelaki itu mengatakan, keputusannya meninggalkan Irak salah satunya dikarenakan teror kelompok ISIS terhadap masyarakat di negeri itu kian menjadi-jadi dan bahkan di luar batas kemanusiaan. Menurut dia, sampai hari ini sudah tidak terhitung jumlah korban yang berjatuhan akibat berbagai serangan yang dilakukan kelompok milisi pimpinan Abu Bakar al-Baghdadi itu.
“Pada 2014, ayah dan abang saya meninggal karena bom mobil yang diledakkan ISIS. Sampai mati, saya tidak akan pernah memaafkan kelompok teroris itu. Bagi saya, ancaman terbesar sesungguhnya di Timur Tengah saat ini adalah ISIS,” ucap Yasser.