REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Bvitri Susanti, mengatakan mekanisme pembagian daerah pemilihan (dapil) dan alokasi kursi setiap dapil untuk DPR sebaiknya dikembalikan kepada KPU. Mekanisme ini harus dikuatkan dengan dasar hukum dalam UU Penyelenggaraan Pemilu.
"Semestinya terkait mekanisme pembagian dapil harus dikembalikan kepada penyelenggara Pemilu atau KPU. Sebab, kecenderungan politik kepentingan akan terus ada jika pembagian masih dilakukan oleh DPR," ujar Bvitri di Jakarta, Senin (13/3).
Dia mencontohkan, kecenderungan itu dapat diberlakukan di daerah yang menjadi kantong suara salah satu parpol. Di daerah tersebut akan dijadikan dapil untuk mengakomodasi kepentingan parpol tersebut.
Dirinya menuturkan, jika penentuan dapil dilimpahkan ke penyelenggara, potensi permainan kantong-kantong suara dapat diminimalisasi. Selain itu, perubahan dalam penentuan dapil dan penyusunan jumlah kursi untuk setiap dapil lebih mudah jika dilakukan oleh penyelenggara.
"Penyelenggara sudah punya teknis untuk mengatur, maka proses perubahan atau perbaikan lebih cepat, efektif dilakukan. Sementara jika diatur DPR, prosesnya lebih lama, harus mengumpulkan seluruh anggota untuk pembahasan," tuturnya.
Selain itu, pihaknya juga menyarankan adanya penguatan dasar hukum jika pengaturan dapil diserahkan kembali kepada KPU. "Satu-satunya jalan untuk mengembalikan, harus merevisi UU penyelenggaraan Pemilu. Kami upayakan advokasi usulan ini dalam pembahasan revisi," tambah dia.
Sebelumnya, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Juri Ardiantoro mengatakan, mekanisme pembagian dapil dan alokasi kursi di tiap dapil untuk DPR sebaiknya diserahkan kepada KPU. Menurutnya, banyak hasil kajian yang menyatakan mekanisme pembagian dapil untuk DPR RI bisa menimbulkan masalah jika diserahkan kepada pemerintah. Salah satu permasalahan yang berpotensi terjadi yakni kurang proporsionalnya pembagian dapil.