REPUBLIKA.CO.ID,MEDAN -- Wacana akan dibentuknya Dewan Pengawas dalam RUU perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dikhawatirkan dapat mempersulit tugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melakukan penyadapan terhadap koruptor.
"Jadi, Dewan Pengawas (Dewas) tersebut akan mempertimbangkan dan sangat selektif, dalam memberikan izin kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)," ujar Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Prof Syafruddin Kalo, Ahad (26/3).
Mengenai masalah izin penyadapan itu, menurut dia, tugas Dewas mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK. Berarti Dewas seolah-olah dapat menjadi sentral seluruh kegiatan KPK.
"Hal ini telah melemahkan wewenang KPK sebagai lembaga yang independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun sesuai Pasal 3 UU Nomor 30 Tahun tentang KPK," kata Syafruddin.
Ia menyebutkan, dengan adanya pembentukan Dewas, maka akan memperpanjang birokrasi dalam tugas KPK, khususnya untuk melakukan penyadapan. Panjangnya birokrasi yang dilalui oleh KPK itu memberikan kesempatan bagi koruptor agar izin penyadapan tidak diberikan oleh Dewas sehingga terhindar dari penyadapan.
"Adanya Dewas, sepanjang tidak menginterpensi tugas KPK maka dapat dibenarkan khususnya mengawasi tingkah laku dan etika, serta moral dari para penyidik KPK," ucapnya.
Syafruddin menambahkan, dibentuknya Dewas merupakan lembaga nonstruktural yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat mandiri. Anggota Dewas berjumlah lima orang, satu orang diantaranya sebagai Ketua Dewan Pengawas ditetapkan berdasarkan keputusan hasil rapat Dewas. Kemudian, anggota Dewas memegang jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama untuk satu kali masa jabatan.
Tugas Dewas mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, memberikan izin penyadapan dan penyitaan, menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan KPK, dan melakukan evaluasi kinerja pimpinan KPK secara berkala satu kali dalam satu tahun.
"Menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan KPK atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-Undang tersebut," kata Guru Besar Fakultas Hukum USU itu.